Wednesday, 27 April 2011

(SIRI 4) Menyoroti Keimanan Abu Thalib


Makna Iman
Oleh Allamah Al-Barzanji.

Pembuktian keimanan bergantung pada pengetahuannya tentang makna iman. Makna iman menurut syariat adalah pengakuan dalam hati atas keesaan Allah swt. Dan risalah nabi Saw, serta pengakuan atas kebenaran segala yang dibawa oleh nabi saw. Dari tuhannya. Sementara itu, makna Islam menurut syariat adalah kepatuhan dengan melakukan perbuatan-perbuatan lahiriah yang telah disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. “Islam adalah terang-terangan (‘alaniyyah), sedangkan iman berada di dalam hati.” Kadang-kadang Islam dan iman menyatu, yaitu dengan pengakuan di dalam hati dan pernyataan atau ikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, kadang-kadang Islam terpecah dari iman, yaitu dalam diri seorang munafik yang secara lahiriah mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengikuti hukum-hukum Islam, sementara di dalam hatinya ia mengingkarinya.
Iman juga kadang-kadang terpisah dari Islam, yaitu dalam diri seseorang  yang dalam hatinya mengakui kebenaran itu, tertapi ia tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat karena pembangkangan dan tidak mengikuti hukum-hukum Islam. Hal ini terjadi pada kebanyakan ulama Yahudi yang mengetahui bahwa Muhammad saw adalah seorang rasul, tetapi mereka tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak mau mengikuti beliau dan tidak mau mengkui apa yang dibawa oleh beliau. Tentang hal ini Alloh swt berfirman yang artinya “Orang-orang yahudi dan nasrani yang telah kami beri alkitab taurat dan injil mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri (QS Al-Bawarah[2]: 146 dan Al-An’am[6]:20
Mereka tidak mau mengakui risalah nabi saw. Karena pembangkangan. Padahal dalam hati, mereka meyakini kebenaran risalah yang dibawa Muhammad saw. Dengan demikian, sebenarnya mereka beriman kepada Muhammad saw, tetapi mereka menampakkan sikap yang mendustakannya karena pembangkangan. Oleh karena itu, keimanan dalam hati mereka tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka disebabkan pengingkaran mereka secara lahiriah.
Sebaliknya, jika seseorang yang secara lahiriah tidak menyatakan keimanan dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat karena suatu uzur, bukan karena pembangkangan, maka dalam hal ini, keimanan dalam hati dapat memberikan manfaat bagi orang tersebut di sisi Allah swt. Di akhirat. Meskipun demikian, orang tersebut mungkin diperlakukan seperti orang kafir. Ia disebut “kafir” menurut hukum-hukum dunia.
Uzur yang mencegah seseorang untuk menyatakan keimanan kepada nabi saw, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah ketakutan terhadap orang zalim. Misalnya , jika ia menampakkan keislamannya dan melaksanakan hukum-hukum Islam , maka orang zalim itu kaan membunuh atau menyiksanya , atau menyiksa salah seorang dari anak-anak atau kerabatnya. Dalam hal ini, ia boleh menyembunyikan keislamannya. Bahkan, Jika orang zalim itu memaksanya untuk mengucapkan ungkapan-ungkapan kekafiran, maka ia boleh mengucapkannya. Berkaitan dengan hal ini, Alloh swt berfirman yang artinya : “barangsiapa yang kafir kepada alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan aloh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang besar (Qs. An-Nahl 16:106)
Termasuk dalam kategori ini adalah halangan Abu Thalib untuk menyatakan keislamannya secara terang-terangan karena kekhawatirannya terhadap keselamatan anak saudaranya, Muhammad Saw. Sebab Abu Thalib ingin melindungi, menolong, dan membelanya dari setiap gangguan yang ditujukan kepadanya sehingga beliau dapat menyampaikan risalah Tuhannya. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy tidak dapat mengganggu Nabi saw. Berkat penjagaan dan perlindungan dari Abu Thalib.
Karena itu, kepemimpinan kaum Quraisy, sepeninggal ‘Abdul Muthalib berada di tangan Abu Thalib. Perintah Abu Thalib dipatuhi oleh kaum Quraisy. Jaminan perlindungannya pun diterima oleh mereka, karena mereka menganggap bahwa Abu Thalib masih menganut agama mereka. Padahal, seandainya mereka mengetahui bahwa Abu Thalib telah memeluk agama Islam dan mengikuti Nabi saw, niscaya mereka tidak akan menerima jaminan perlindungan dan pertolongannya kepada beliau. Mereka pasti memerangi dan menyakiti Abu Thalib serta melakukan tindakan yang jauh lebih buruk terhadapnya daripada pa yang mereka lakukan terhadap nabi saw.
Tidak diragukan, hal ini merupakan alasan yang sangat kuat bagi Abu Thalib untuk tidak menampakkan keimannya kepada Nabi saw dan mengikuti beliau secara terang-terangan. Oleh karena itu Abu Thalib memperlihatkan seakan-akan dirinya masih berpegang pada agama mereka dan ia membela nabi saw. Semata-mata karena alasan hubungan kekerabatan. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy meyakini bahwa Abu Thalib melindungi dan menolong nabi saw. Semata-mata karena sikap fanatisme, bukan karena ia telah mengikuti agama Muhammad saw, karena bangsa arab dikenal dengan kefanatikannya. Padahal hati Abu Thalib telah dipenuhi keyakinan kepada Muhammad saw. Karena ia telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang muncul dalam diri beliau.
Abu Thalib kadang-kadang melantunkan bait-bait syair yang secara lahiriah menunjukkan keimanannya kepada nabi saw. Namun pada kesempatan lain, ia juga melantunkan bait-bait syair di hadapan kaum kafir yang menunjukkan seakan-akan ia masih mengikuti agama mereka dan tidak mengikuti nabi saw. Hal itu ia lakukan untuk menjaga keselamatan jiwanya dan melindungi dirinya dari tuduhan bahwa ia adalah pengikut nabi saw.


Apakah Ucapan Syahadat bagian dari keimanan?
Kemudian, Al-Barzanji menyebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang ucapan dua kalimat syahadat; apakah merupakan bagian dari keimanan atau hanya merupakan syarat berlakunya hukum duniawi? Jika mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan bagian dari keimanan, maka konsekuensinya adalah bahwa orang yang meninggalkannya, sementara ia mampu melakukannya, dinilai kafir dan kekal di neraka. Namun , jika hal itu hanya merupakan syarat berlakunya hukum duniawi, maka ia tidak kekal di neraka.
As-Safaqasi dalam syarh at tamhid berkata “Esensi iman adalah pembenaran (tashdiq). Ini adalah riwayat yang sahih dari Imam Abu Hanifah r.a
Allamah Al-‘Aini dalam syarh al bukhari berkata “pernyataan dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum”. Oleh karena itu, barangsiapa mengakui kebenaran sesuatu yang dibawa oleh Rasul saw. Maka ia adalah seorang mukmin di hadapan alloh swt. Meskipun ia tidak mengikrarkannya dengan lisannya. Hafizhuddin An nasafi berkata, “Hal itu diriwayatkan dari Abu Hanifah. Pendapat inilahyang dianut oleh Imam Abu Al Hsan Al Asy’ari dalam riwayat yang paling sahih darinya, dan ini juga pendapat yang dianut oleh Abu Manshur Al-Maturidi”
Imam ‘Adhduddin dalam Al-Mawaqif berkata, “Iman, menurut mazhab kami , adalah pembenaran terhadap Rasulullah saw. Karena diketahui bahwa apa yang dibawanya merupakan keniscayaan. “Penulis syarah buku tersebut, Sayyid Asy-Syarif, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “menurut mazhab kami” adalah para pengikut mazhab Abu Al Hasan Al-‘Asy’ari. Al Ghazali r.a juga telah menegaskan mazhab ini dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, dan ia telah menjelaskan masalah ini secara lebih terperinci.
Pendapat di atas juga dianut oleh Imam Al-Haramain, para pengikut mazhab Al-Asy’ari, Al-Qadhi Al-Baqilani dan Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayini. Bahkan , At Taftazani menisbatkan pendapat ini kepada mayoritas muhaqqiq dan berdalil dengan hadi-hadis nabi saw, diantaranya “Barangsiapa mengakui dengan tulus bahwa Alloh adalah Tuhannya dan bahwa aku adalah Nabinya, niscaya Alloh mengharamkan dagingnya dari api neraka (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir dari ‘Imran bin Hushain)
‘Utsman bin affan meriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda “Barang siapa meninggal, sementara dia mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Alloh, niscaya dia masuk surga (Hr Al Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Na’im Al-Asyja’i r.a meriwayatkan bahwa rasul saw bersabda “Barangsiapa berjumpa dengan Alloh sementara ia tidak menyekutukannya  dengan sesuatu apa pun, niscaya dia masuk surga. “ Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun dia berzina dan mencuri ?’ Beliau menjawab, “Ya, meskipun dia berzina dan mencuri “ (HR Ath-Thabrani)
Dalam penjelasan tentang syafaat, disebutkan hadis-hadis nabi saw. Mengenai hal tersebut, sehingga pada hari kiamat, dikatakan kepada Rasul saw, “Keluarkanlah dari neraka siapa saja (dari umatmu) yang di dalam hatinya terdapat keimanan, walaupun lebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil daripada biji sawi!”
Al-Barzanji telah menuliskan satu bab tersendiri yang di dalamnya ia mengutip banyak hadis nabi saw. Yang berhubungan dengan hal itu. Semuanya menunjukkan bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan, walaupun lebih kecil, lebih kecil dan lebih kecil daripada biji sawi, niscaya ia tidak kekal di neraka.
At-Taftazani dalam Syarh Al-Maqashid, Al Kamal bin Al Hammam dalam Al Musayarah, dan Ibn Hajar dalam Syarh Al-Arbain mengatakan bahwa keselamatan di akhirat tidak menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat. Jika keselamatan di akhirat menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat, tetapi ia menolaknya karena pembangkangan dan kebencian terhadap Islam, maka ia tidak akan selamat dari neraka.
Dan Syarat tersebut, dipahami bahwa jika ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat setelah dituntut mengucapkannya, bukan karena kebencian terhadap Islam dan bukan pula karena pembangkangan, tetapi karena ada uzur yang dapat diterima, sedangkan hatinya tetap mantap dalam keimanan, maka ia tidak menjadi kafir di hadapan Alloh swt. Bahkan sekalipun ia mengucapkan ungkapan kekafiran karena dipaksa untuk mengucapkannya. Keadaan seperti itu tidak berpengaruh terhadap keimanannya. Alloh swt berfirman
“Barang siap yang kafir pada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan alloh) , kecuali orang yang dipaksa kafir padalhal hatinya tetap mantap dalam kemimanan (Qs An-Nahl 16 : 106)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa iman adalah pembenaran (tashdiq). Namun, pendapat lain mengatakan bahwa pembenaran saja tidak cukup. Seseorang harus mengikrarkan keislaman dengan lisan disertai pembenaran dalam hati. Oleh karena itu, menurut pendapat terakhir ini, orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, padahal ia mampu mengucapkannya, kekal di neraka. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama. An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengutip kesepakatan Ahlus Sunnah dari kalangan ahli hadis, fukaha, dan ahli ilmu kalam terhadap pendapat itu, tetapi mereka menyanggah adanya kesepakatan tersebut.
Ibnu Hajar Syarh Al-Arba’in mengatakan bahwa para imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) memiliki pendapat yang sama, yaitu bahwa ia (orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat) adalah orang Mukmin tetapi ia berbuat durhaka karena tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, mayoritas pengikut mazhab Al-Asy’ari dan sebagian muhaqqiq dari kalangan mazhab Hanafi, sebagaimana dikatakan oleh Al-Kamal bin Al-Hammam dan lain-lain, mengatakan bahwa mengikrarkan syahadat dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja.
Kemudian Ibn Hahar menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang paakah mengucapkan dua kalimat syahadat harus dengan kalimat yang sudah kita kenal atau boleh dengan kalimat lain tetai menunjukkan keimanan. Berkenaan dengan hal ini, ia menyebutkan dua pendapat di kalangan para ulama. Pertama, dua kalimat syahadat harus diucapkan dengan kalimat yang sudah dikenal dan tidak boleh dengan kalimat lain, kedua, dan ini pendapat yang lebih kuat, dua kalimat syahadat tidak harus dengan kalimat yang sudah dikenal, dan menyatakan keimanan dapat dilakukan dengan kalimat lain.
Kemudian, hendaklah diketahui bahwa yang dimaksud dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bukan mengucapkan dua kalimat yang khusus (yang sudah dikenal). Hal itu bertentangan dengan pendapat Al-Ghazali, sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah, dan ia menisbatkan pendapat itu kepada seluruh ulama.
Al-Halimi dalam Al Minhaj mengatakan bahwa tidak ada perdebatan mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa pernyataan keimanan sudah dinilai sah bila dilakukan dengan kalimat lain, selain la ila ha illallah(tiada tuhan selain alloh). Dengan demikian , seseorang boleh mengucapkan la ilaha ghairullah, la ilaha ma’adallah, lailaha siwallah, ma min ilahin ilallah yang kesemuanya berarti “Tiada tuhan selain Alloh” Ia juga boleh mengucapkan la ilaha illallah (Tidak ada Tuhan yang pemurah selain Alloh) atau la ilaha illa al bari (Tidak ada tuhan yang maha pencipta). Semua kalimat itu memiliki makna yang sama dengan kalimat la ilaha illallah (Tiada tuhan selain Alloh)
Demikian pula, dalam syahadat Rasul seseorang boleh mengucapkan muhammad nabiyullah (Muhammad adalah Nabi Alloh), muhammad mab’utsuhu (Muhammad adalah utusanNYA), atau muhamamd al-mahi (Muhammad adalah penghapus syariat sebelumnya), atau kalimat dalam bahasa lain yang menunjukkan hal itu. Dengan mengucapkan kalimat mana pun dari kalimat-kalimat di atas, keislaman seseorang sudah dinilai sah, dan ia dinyatakan sebagai muslim.

Sumber :Benarkah Abu Thalib seorang mukmin , Tinjauan Alquran & Hadis , hal 15 s/d 31 oleh Allamah Ahmad bin Zaini dahlan


No comments:

Post a Comment