Dalil-dalil yang dijadikan pijakan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak akan selamat di akhirat yang dikupas lagi oleh Al-Barjanzi sehingga berbalik menjadi dalil-dalil menegaskan keimanan Abu Thalib diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra. Paman nabi saw. Bahwa ia pernah berkata kepada Rasul saw. “Abu Thalib adalah orang yang telah menjaga dan membelamu, dna ia juga marah demi melindungimu. Apakah semua itu berguna baginya ? “Rasulullah saw menjawab “Ya. Aku mendapatinya di neraka, lalu aku mengeluarkannya menuju tepi neraka. Sekiranya bukan karena aku, niscaya dia berada di dasar neraka. (HR. BUKHARI dan MUSLIM)
Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri ra disebutkan bahwa nama paman Nabi saw. Abu Thalib , disebut-sebut di majelis nabi saw. Kemudian, beliau bersabda “Barangkali, syafaatku akan dia dapatkan pada hari kiamat. Oleh karena itu, dia ditempatkan di tepi neraka dan api hanya mencapai kedua mata kakinya, sementara otaknya mendidih” (HR AL BUKHARI DAN MUSLIM)
Dalam Riwayat lain, Nabi saw. Bersabda “Penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib” (HR MUSLIM)
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat mengatakan bahwa hadist-hadist sahih tersebut menunjukkan bahwa Abu Thalib adalah seorang kafir dan ia berada di neraka. Dengan demikian, tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa Abu Thalib selamat di akhirat. Sebab, nabi saw sendiri telah memberitahukan keadaannya di hadapan Alloh di akhirar. Selain itu, menurut mereka hal tersebut juga menunjukkan bahwa Abu Thalib tidak menyimpan keimanan terhadap Nabi Saw dalam hatinya. Adapun apa yang telah dilakukannya yaitu membela Nabi saw semata-mata karena fanatisme Arab dan harga diri, sehingga ia tidak ingin membiarkan anak saudaranya itu terbunuh di hadapannya, sementara ‘Abdul Muthalib telah berpesan kepadanya agar memeliharanya.
Namun, saya katakan bahwa hadis-hadist di atas justru menunjukkan keimanan dan keselamatan Abu Thalib di akhirat. Sebab Alloh swt. Telah memberitahukan tentang orang-orang kafir, bahwa siksaan mereka tidak akan diringankan, mereka tidak akan dikeluarkan dari neraka, dan syafaat dari orang-orang yang berhak memberikan syafaat tidak berguna bagi mereka. Dan masih banyak keterangan lain tentang mereka.
Dalam sebuah riwayat yang sahih disebutkan bahwa neraka jahim adalah suatu tingkatan di neraka, tempat penyiksaan bagi orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin. Kemudian, mereka dikeluarkannya dari sana. Neraka Jahim adalah tingkatan neraka yang paling tinggi (Siksaannya paling ringan). Sementara itu, orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin mendapatkan siksaan yang lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang kafir. Dengan demikian, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis sahih, Abu Thalib adalah penghuni neraka yang paling ringan siksaannya. Artinya ia adalah orang yang mendapatkan siksaan yang paling ringan, bahkan lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin. Seandainya kita tidak berpendapat seperti itu pun, tidak terbukti bahwa nabi saw bersabda bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka yang mendapatkan siksaan yang paling ringan.
Seandainya Abu Thalib dianggap kafir dan kekal di neraka, sementara ia adalah penghuni neraka yang mendapatkan siksaan yang paoing ringan, berarti siksaan terhadap orang kafir lebih ringan daripada siksaan terhadap sebagian orang mukmin yang durhaka. Padahal, tidak seorang pun berpendapat demikian.
Dengan demikian, terbukti bahwa siksaan terhadap Abu Thalib lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang durhaka dari kalngan kaum mukmin, dan terbukti pula bahwa syafaat nabi saw berguna baginya sehingga ia mendapatkan pengurangan siksaan, dijadikan sebagai penghuni neraka yang mendapat siksaan yang paling ringan, dan dikeluarkan dari dalam neraka menuju tepinya. Seandainya bukan karena nabi saw, niscaya ia berada di neraka. Ia diberi sepasang sandal dari api, sehingga api neraka tidak menyentuh punggung kakinya. Ini adalah tingkatan neraka yang paling tinggi (yang siksaannya paling ringan), dan tidak ada lagi neraka yang lebih tinggi dari ini.
Api neraka hanya menyentuh telapak kaki Abu Thalib. Hal ini hanya terjadi pada tingkatan Al-Ghauqaniyyah yang merupakan tempat bagi orang-orang durhaka dari kalangan umat ini. Dalam hadis-hadis sahih disebutkan bahwa mereka dikeluarkan dari neraka tersebut, dan tidak tersisa seorang pun yang di dalam hatinya terdapat keimanan walaupun lebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil lagi dari pada biji sawi.
Dalam hadist sahih juga diriwayatkan bahwa tingkatan neraka terse ut adalah sesudah orang-orang durhaka dari umat ini dikeluarkan darinya, sehingga pai neraka itu padam dan angin berembus menutup pintu neraka tersebut. Kemudian di neraka itu, tumbuh tanaman seledri air. Padahal tidak mungkin tanaman seledri air akan tumbuh jika di sana masih terdapat api walaupun hanya mengenai telapak kai. Dengan demikian, menurut dalil-dalil ini dan juga dalil-dalil sahih yang lain, Abu Thalib pasti dikeluarkan dari neraka tersebut.
Selanjutnya, dalam hadist sahih diriwayatkan bahwa nabi saw, bersabda “syafaatku adalah untuk orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (dari umatku). Dalam riwayat lain disebutkan, “… untuk orang-orang yang tidak menyekutukan Alloh dengan suatu apa pun” Artinya syafaat untuk pengampunan dosa dikhususkan bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, karena dosa-dosa kecil bisa ditebu dengan menjauhi dosa-dosa besar. Oleh karena itu syafaat orang-orang yang berhak memberi syafaat tidak berlaku bagi orang-orang kafir, karena Alloh tidak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukannya. Jika sesorang tidak diampuni dosanya, maka ia tidak akan mendapatkan syafaat. Sebab, adanya siksaan karena adanya dosa. Seseorang yang tidak diampuni dosanya, tidak akan dihilangkan siksaannya. Jika dosa syirik tidak diampuni, maka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat tidak berguna baginya, termasuk syafaat nabi saw. Syafaat beliau tidak berguna bagi orang-orang kafir, sebagimana juga syafaat dari orang lain.
Namun, Abu Thalib telah mendapat syafaat nabi saw. Sehingga siksaannya diringankan dan ia dikeluarkan dari tengah neraka menuju e tepinya dengan syafaat tersebut. Dengan demikian, ia dapat dikategorikan ke dalam kelompok orang-orang yang melakukan dosa besar, bukan termasuk orang-orang kafir. Selain itu, ia juga pasti dikeluarkan dari neraka karena ia termasuk orang-orang durhaka dari umat ini, yang berada di tingkatan neraka yang paling tinggi (ringan). Setiap orang yang keadaannya seperti ini, ia pasti dikluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Inilah makna sabda nabi saw, “Aku berharap ia mendapatkan segala kebaikan dari tuhanku”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dan Ibn ‘Asakir dari Ibn ‘Abbas r.a, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasul saw, Apa yang engkau harapkan bagi Abu Thalib? Beliau menjawab, “Aku berharap ia mendapatkan segala kebaikan dari Tuhanku”. Tentu segala kebaikan diharapkan untuk seorang mukmin, dan tidaklah mungkin maksudnya hanya peringanan siksaan. Sebab, peringanan siksaan tidak disebut kebaikan, apalagi disebut segala kebaikan. Akan tetapi, segala kebaikan bukan berarti diringankan keburukan dan sebagian keburukan itu lebih ringan daripada sebagian yang lain. Segala kebaikan itu adalah masuk surga.
Tammam Az Zari dalam Al Fawa’id meriwayatkan hadis dengan sanadnya yang dimuat dalam Al-Manaqib dari Ibn ‘Umar r.a bahwa Rasul saw bersabda, “Pada hari kiamat, aku akan memberikan syafaat kepada ayahku, ibuku, pamanku (Abu Thalib), dan saudaraku yang meninggal pada masa jahiliah” Al Muhibb Ath Thabari juga meriwayatkan hdist tersebut dalam Dzakha’ir Al ‘Uqba dalam bab “Dzawil Qurba. Demikian pula Abu Na’im , dan ia mengatakan bahwa saudara nabi saw tersebut adalah saudara sepersusuan.
Sebutan neraka meliputi seluruh tingkatannya. Rasul saw telah memberitahukan bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka yang siksaannya paling ringan. Beliau pun menjelaskan alsannya yaitu api hanya menyentuh kedua telapak kaki Abu Thalib.Oleh karena itu, tidak mungkin dikatakanbahwa Abu Thalib adalah seorang kafir. Sebab, di antara orang-orang mukmin sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadis sahih, ada orang yang disiksa karena satu dosa, seperti berkhianat (mengambil harta rampasan perang secara tidak sah), durhaka kepada orang tua, menyiksa seekor kucing, dna berjalan dengan sombong. Orang itu mendapatkan siksaan yang lebih besar daripada yang dialami oleh Abu Thalib.
Tentang orang yang mencuri harta rampasan perang (ghanimah), yaitu berupa sebuah mantel kecil, diriwayatkan bahwa api neraka membakarnya. Demikian pula, orang yang mengambil sebuah selimut yang terbuat dari bulu domba, akan dipakaikan padanya sebuah baju besi yang membara. Sebaliknya, orang yang datang pada hari iamat, dan tidka pernah mencuri harta rampasan perang , ia akan masuk surga. Sementara itu, orang yang durhaka kepada orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, termasukdiantara orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar. Bahkan, dalam beberapa hadis disebutkan , bahwa durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa yang paling besar, berada setingkat di bawah dosa akibat menyekutukan alloh. Alloh swt berfirman “Sembahalah alloh dan janganlah kamu mempersekutukanNYA dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QS. An Nisa 4 :36)
Dalam sebuah hadis sahih juga diriwayatkan bahwa rasul saw. Bersabda “Ada tiga hal yang menyebabkan amal kebaikan idak berguna , yaitu menyekutukan alloh, durhaka kepada kedua orang uta, dan kabur dari medan perang”
Dalam hadis sahih yang lain disebutkan bahwa rasul saw. Bersabda pada hari kiamat, alloh tidak akan memandang kepada orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Masih banyak hadis sahih yang menjelaskan tentang besarnya sisaan terhadap orang yang durhaka kepada keuda orang tua, dan ia adalah orang yang paling durhaka daripada para pendurhaka dari kalangan orang-orang mukmin yang dikeluarkan dari neraka.
Tentang siksaaan terhadap orang yang menyiksa seekor kucing, dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa seorang perempuan masuk neraka gara-gara seekor kucing. Ia mengurung kucing itu tanpa memberinya makan dan minum hingga mati kelaparan. Sementara itu, tentang larangan berjalan dengan sombong, banyak sekali hadis yang menyebutkan larangan atas perbuatan tersebut dan besarnya siksaan bagi pelakunya.
Dengan demikian, seandainya Abu Thalib adalah seorang kafir, maka siksaan terhadapnya menunjukkan bahwa siksaan terhadap orang kafir lebih ringan daripada siksaanterhadap orang yang melakukan dosa-dosa besar. Padahal, sudha pasti bahwa siksaan yang disebabkan oleh kekafiran jauh lebih besar daripada siksaan yang disebabkan oleh dosa-dosa besar. Hal ini sudah jelas dan tidak diragukan lagi sama sekali. Sebab, kekafiran lebih besar daripada dosa-dosa besar dan merupakan dosa yang tidakterampuni. Keadaannya berbeda dengan dosa-dosa besar yang lain. Seandainya ada orang mukmin pendurhaka yang mendapatkan siksaan lebih ringan daripada siksaan terhadap Abu Thalib, niscaya hal itu pun bertentangan dengan sabda Rasul saw.yang menyebutkan bahwa orang yang siksaannya paling ringan adalah Abu Thalib.
Ringkasnya, siksaan terhadap Abu Thalib adalah seperti siksaan terhadap orang-orang durhaka yang lain dari kaum mukmin. Bahkan, diantara orang mukmin yang durhaka, siksaannya adalah yang paling ringan. Jika siksaan itu kita kaitkan dengan disa besar, maka hal itu semata-mata karena Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat. Ini pun jika kita asumsikan bahwa ia tidak mengucapkan kalimat syahadat. Seandainya tidak mengucapkan kalimat syahadat merupakan perbuatan maksiat dan termasuk dosa-dosa besar, maka uzur Abu Thalib dengan tidak mengucapkannya tidak membatalkan keabsahan keimannya. Akan tetapi, tidak dinafikan juga bahwa tidak mengucapkan kalimat syahadat termasuk perbuatan-perbuatan maksiat.
Atau, mungkin saja Abu Thalib telah mengucapkan kalimat syahadat, tetapi nabi saw tidak mendengarnya. Oleh karena itu, nabi saw, mengira bahwa ia tidak pernah mengucapkannya. Hal itu karena nabi saw menemui Abu Thalib ketika ia menjelang ajal, sementara disampingnya ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah al makhzumi. Nabi saw berkata kepada Abu Thalib “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah (tiada tuhan selain alloh), satu kalimat yang dengannya aku akan bersaksi untukmu dihadapan alloh”
Melihat hal itu Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah berkata. “Wahai Abu Thalib, apakah kamu telah membenci agama ‘Abdul Muthalib? Kedua orang itu terus menerus mengulangi ucapan mereka hingga akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka bahwa ia tetap mengikuti agama yang dianut ‘Abdul Muthalib dan tidak mengucapkan la ilaha illallah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abu Thalib melihat keinginan kuat rasul saw, agar ia beriman, ia berkata wahai anak saudarku, sekiranya bukan karena khawatir orang-orang quraisy akan mencemoohkaku, aku akan mengucapkannya, karena aku takut terhadap kematian.
Dalm riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abu Thalib menjelang ajalnya, Al Abbas memandanginya. Ia melihat kedua bibir Abu Thalib bergerak.Ia pun segera mendekat dan memasang pendengarannya, sehingga ia mendengar Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian , al Abbab berkata kepada nabi saw “Wahai anak saudaraku, demi alloh, sesunggunya saudaraku ini (Abu Thalib) benar-benar telah mengucapkan kalimat yang telah engkau perintahkan kepadanya agar diucapkan. Al Abbas tidka secara tegas menebutkan kalimat la ilaha illallah karena ketika tiu ia sendiri belum memeluk Islam. Akan tetapi, Rasul Saw berkata kepadanya “Aku tidakmendengarnya” inilah yang dijadikan alasan oelh sebagian orang, bahwa nabi saw, tidak menganggap Abu Thalib telah mengucapkan syahadat, sehingga seakan-akan ia tidak pernah mengucapkannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat, tidak berpegang pada hadis ini. Alasannya ketika Al Abbas menyaksikan peristiwa itu, ia masih kafir, belum memeluk Islam. Sementara itu, sebagian lain menilai bahwa hadis ini lemah. Seandainya kita menerima bahwa nabi saw. Tidak menganggap Abu Thalib telah mengucapkan syahadat, seperti yang disampaikan oleh Al Abbas dan hadis tersebut lemah (dhaif), maka kami katakan bahwa Abu Thalib adalah kafir menurut penilaian hukum-hukum duniawi. Namun, disisi alloh, ia adalah seorang mukmin yang selamat di akhirat. Hatinya telah dipenuhi keimanan sebagaimana ditegaskan dalam dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
Diantar dalil-dalil yang menunjukkanhal itu, barang kali ia sengaja tidak mengucapkan kalimat tauhid (la ilaha illallah) karena kehadiran Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah. Sebab, Abu Thalib sangat ingin menjaga dan melindungi Muhammad saw dari gangguan merka sepeninggalnya. Menurutnya, jika ia menampakkan diri sekan-akan tetap mengikuti agama mereka, niscaya jaminan perlindungan dan penghormatanya kepada nabi saw dapat diterima oleh kaum quraisy pasca kematiannya, sehingga mereka tidak mengganggu beliau. Seandainya maksdun Abu Thalib memang demikian, jawaban Abu Thalib yang disampaikan kepada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, bahwa ia tetap mengikuti agama mereka sekadar untuk menyenangkan hati mereka. Hal itu agar mereka tidak mengganggu nabi saw sepeninggalnya.
Selain itu, kita dapat menggabungkan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat dan pendapat yang mengatakan bahwa ia mengucapkannya. Dalam hal ini, Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat karena kehadiran Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah demi menyenangkan hati mereka. Namun, ketika kedua orang itu telah pergi, Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat dan hal itu didengar oleh Al ‘Abbas. Oleh karena itu , dalam hadist tersebut disebutkan, … “Akhirnya Abu Thalib berkata kepada mereka.. “ Ini maksudnya adalah akhir perkataan Abu Thalib kepada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, bukan ucapan terakhir Abu Thalib menjelang kematiannya.
Ucapan Abu Thalib bahwa ia tetap mengikuti agama yang dianut oleh ‘Abdul Muthalib , hal itu merupakan bukti bahwa ia mengikuti agama tauhid. Sebab, ‘Abdul Muthalib juga menganut agama tauhid, seperti kakek-kakek Rasulsaw. Yang lain, sebagimana yang ditegaskan oleh As Suyuthi dan lain-lain dalam buku mereka. Oleh karena itu, Abu Thalib sengaja memberikan jawaban yang sama kepada mereka untuk memuaskan mereka secara lahirah, padahal , ia mengetahui bahwa Abdul Muthalib menganut agama tauhid.
Ibn ‘Asakir meriwayatkan bahwa ‘Amr bin Al Ash berkata “Saya mendengar rasul saw bersabda “Sesungguhnya Abu Thalib memiliki hak kekerabatan terhadapku. Aku akan menyambung hak kekerabatan itu dengannya.”
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat mengatakan “Hadi yang diriwayatkan Shahih Al Bukhari dan Sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di neraka menafikkan keimanannya. Hal ini seperti itu berlaku bagi orang yang mati dalam kekafiran.
Berkaitan dengan hal ini, kami tegaskan bahwa orang yang mati dalam kekafiran tidak akan berada di tepi neraka, tetapi ia akan berada di tingkatan neraka yang paling bawah. Oleh karena itu, syafaat nabi saw yang didapatkan oleh Abu Thalib sehingga ia berada di tepi neraka merupakan bukti bahwa ia bukan seorang kafir. Sebab orang kafir tidak akan mendapakan syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.
Adapun sabda nabi saw “Kalau bukan karena aku, niscaya dia berada di dasar neraka” Hadis ini maksudnya kalau bukan karena alloh telah memberikan hidayah kepadanya agar beriman , niscaya ia akan mati dalam kekafiran dan ia akan berada di dasar neraka.
Dalil serupa adalah sabda nabi saw. Berkenaan dengan seorang anak Yahudi yang dijenguk oleh beliau ketika ia sedang sakit. Ketika itu,beliau mengajaknya agar memeluk Islam. Anak Yahudi pun memeluk Islam, lalu ia meninggal. Pada kesempatan itu beliau bersabda “Segala puji bagi alloh yang telah menyelamatkannya dengan perantaraanku dari neraka”
Pada saat itu, tampaklah kepada kita makna yang sangat dalam dari hadis itu yang menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di neraka, lalu beliau memberinya syafaat, sehingga ia ditarik ke tepinya. Artinya, Abu Thalib hampir masuk ke dasar neraka karena enggan mengucapkan kalimat syahadat, lalu nabi saw memberikannya syafaat , sehingga alloh memberinya hidayah agar beriman. Hal ini tidak bertentangan dengan sabda nabi saw “Aku tidak mendengarnya” sebab mungkin saja setelah itu,, Alloh memberitahukannya kepada nabi saw. Mengenai firman alloh swt : Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNYA. (QS. Al Qashash 28 : 56), mungkin benar bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Thalib. Namun, ayat ini menegaskan bahwa hanya alloh yang memberikan petunjuk kepada Abu Thalib setelah nabi saw, berputus asa dalam membujuknya agar ia beriman.
Ibn Sa’ad dan Asakir meriwayatkan bahwa Ali r.a berkata “Saya menyampaikan berita kematian AbThalib kepada nabi saw. Mendengar berita itu, beliau mengangis. Lalu bersabda, ‘pergilah, lalu mandikan , kafani dan kuburkanlah dia! Semoga alloh mengampuni dan merahmatinya’. Saya melaksanakan apa yang beliau perintahkan “ Nabi saw tidak ikut mengantarkan jenazah Abu Thalib. Hal itu semata-mata untuk menghindari kejahatan orang-orang yang lemah akal dari kalangan kaum Quraisy. Adapun, mengapa nabi saw tidak menshalatkan jenazah Abu Thalib, karena ketika itu shalat jenazah belum disyariatkan.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa setelah Abu Thalib meninggal dunia, kaum Quraisy sering mengganggu nabi saw, sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya, ketika Abu Thalib masih hidup. Diantaranya, seseorang dari kalangan Quraisy menghadang nabi saw. Di jalan, lalu menaburkan tanah di kepala beliau. Setiba di rumah, rambut rasul saw masih berlumuran tanah, maka salah seorang putri beliau menghampirinya lalu menghilangkan tanah itu sambil menangis. Rasul saw berkata kepada putrinya, wahai putriku, janganlah menangis, karena alloh senantiasa melindungi ayahmu.
Rasu Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang ditimpakan orang-orang Quraisy kepada diriku yang lebih tidak kusukai daripada apa yang mereka timpakan setelah Abu Thalib meninggal.”
Gangguan kaum kafir Quraisy yang lebih gencar terhadap rasul saw. Terbukti kemudian, yaitu manakala mereka keluar dari rumah Abu Thalib dalam keadaan marah dan dendam kepada beliau. Pasalnya mereka melihat rasul saw terus menerus meminta Abu Thalib agar mengucapkan kalimat syahadat. Ketika Rasulullah saw melihat kaum kafir Quraisy mulai berani melakukan penyerangan dan gangguan terhadap dirinya, beliau berkata, “Wahai pamanku, alangkah cepat kedatangan sesuatu yang aku dapatkan sepeninggalmu!”
Ali r.a berkata, “ketika Abu Thalib meninggal , saya berkata kepada rasul saw, wahai rasulullah pamanmu , seorang tua yang sesat, telah meninggal dunia. Beliau bersabda, “Pergilah dan kuburkanlah dia! Saya berkata,’ia meninggal dalam keadaan musyrik, beliau bersabda ‘Pergilah dan kuburkanlah dia !” Setelah selesai menguburkannya, saya kembali kepada nabi saw, lalu beliau bersabda ‘Mandilah kamu !” (HR Al Baihaqi)
Ucapan Ali ra “… pamanmu, seorang tua yang sesat, telah meninggal dunia,” bertentangan dengan hadis sebelumnya. Hal itu dilihat dari keadaan lahiriahnya di dunia. Barangkali, “Ali ra mengatakan demikian dihadapan orang-orang yang lemah akal dari kalangan kaum musyrik untuk mengambil hati mereka. Oleh karena itu, hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis sebelumnya bila dilihat dari hakikatnya dalam perkara ini, yaitu keimanan dan pembenaran Abu Thalib terhadap nabi saw.
Boleh saja mengabarkan tentang Abu Thalib, bahwa ia seorang kafir bila dilihat dari keadaan lahiriahnya dan dari aspek hukum dunia. Namun, hal ini tidak bertentangan penjelasan bahwa Abu Thalib adalah seorang Mukmin bila dilihat dari aspek hakikat dan apa yang ada disisi Alloh. Semua itu ssuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang telah kami kemukakan sebelum ini yang menunjukkan keimanan dan pengakuannya atas kenabian Muhammad SAW.
Dalil-dalil yang kami kemukakan tentang keselamatan Abu Thalib di akhirat sudah cukup jelas, dan tidak memerlukan penjelasan lagi. Akan tetapi kami akan memberikan penjelasan tambahan untuk menguatkannya. Berkenaan dengan hal ini. Alloh swt. Berfirman.
Maka, orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (Qs. Al-A’raf 7 : 157)
Abu Thalib telah membenarkan dan menolong nabi saw. Sebagaimana telah sama-sama kita ketahui. Untuk itu, ia harus berhadapan dengan kaum Quraisy. Tak seorang pun yang mengingkari kenyataan ini. Dengan demikian, Abu Thalib termasuk orang-orang yang beruntung.
Adapun, orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak beriman, mengatakan bahwa Abu Thalib telah menolong Nabi saw. Tetapi ia tidak mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya, yaitu Alquran, yang mengajak ke dalam tauhid. Oleh karena itu, menurut mereka, Abu Thalib tidak mendapatkan keberuntungan kecuali memenuhi seruan alquran.
Saya katakan bahwa jika yang dimaksud dengan keberuntungan adalah keselamatan dari neraka, maka hal itu hanya diraih dengan keimanan, yang pembenaran (tashdiq), seperti dikatakan oleh muhaqqiq. Dan hal itu ada pada Abu Thalib. Namun jika yang dimaksud adalah keberuntungan yang sempurna, maka ketiadaannya tidak menyebabkan kekafiran. Selain itu, saya katakan bahwa Abu Thalib adalah orang yang mengikuti nabi saw. Bahkan ia juga menyuruh orang lain untuk mengikuti beliau.
Jika keimanan diartikan dengan pembenaran (tashdiq). Maka hal itu ada pada diri Abu thalib. Ketika itu, pengikutan (kepada nabi saw). Dalam hal yang disyariatkan hanyalah pada masalah tauhid, silaturahim dan meninggalkan penyembahan berhala. Hal itu sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Abu Thalib pernah bertanya kepada Nabi saw. Dengan cara apa kamu diutus menjadi nabi? Nabi saw, memberitahukan bahwa beliau diutus menjadi nabi dengan menjalin silaturahim, menyembah alloh, dan tidak menyembah sesuatu selain dia. Pada saat itu, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad belum diwajibkan. Yang disyariatkan hanyalah ucapan la ilaha illallah (tiada tuhan selain alloh).
Seandainya mengucapkan la ilaha ilallah dianggap sebagai syarat tauhid, maka seperti telah disebutkan sebelum ini Abu Thalib telah mengucapkan kalimat tauhid, hakikat kerasulan , dan pembenaran terhadap kenabian Muhammad saw. Dalam syair-syairnya. Adapun nabi saw meminta Abu Thalib agar mengucapkan la ilaha ilallah menjelang kematiannya, hal itu semata-mata untuk menyempurnakan keimanan menjelang kematiannya.
Disamping itu, jika ia tidak dianggap telah mengucapkan kalimat tauhid menjelang kematiannya, maka dalil-dalil sebelum ini telah menunjukkan secara jelas bahwa membenarkan kenabian muahmmad saw. Dalam hatinya. Adapun , ia enggan mengucapkan kalimat tauhid ketika menjelang kematiannya, hal itu karena ia khawatir bila ucapan itu semata-mata karena ia takut menghadapi kematian, sedangkan takut menghadapi kematian merupakan aib bagi mereka. Di samping itu mereka berasal dari keturunan yang mulia dan memiliki kepemimpinan yang kuat. Oleh karena itu, mereka tidak rela bila dinisbatkan pada sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat kemuliaan, sehingga hal itu merupakan uzur bagi mereka.
Semua ini bila kita memandang perkara tersebut dari aspek lahiriahnya. Adapun, bila kita memandangnya dari aspek batiniahnya, penyebab utama mengapa Abu Thalib tidak mau mengucapkan kalimat tauhid di hadapan beberapa tokoh musyrik Quraisy adalah demi membela melingungi dan menolong nabi saw. Sebab Abu Thalib benar-benar menyadari bahwa jika ia mengucapkan kalimat tauhid itu di hadapan para pemuka musyrik Quraisy, dan mereka mengetahui bahwa ia telah mengikuti Muhammad saw, niscaya mereka tidak akan mengindahkan lagi jaminan perlindungannya terhadap nabi saw. Dan mereka tidak akan memandang lagi kedudukannya di tengah mereka. Selain itu, mereka akan membatalkan jaminan perlindugnannya dan mencemarkan kehormatannya, serta menyakiti nabi saw dengan cara yang melampaui batas. Padahal , Abu Thalib sangat menginginkan agar dakwah nabi saw kepada umat manusia ini terus berjalan sepeninggalnya.
Untuk tujuan itu, Abu Thalib benar-benar menjaga diri agar kehormatannya terus terpelihara di hati kaum Quraisy. Seandainya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan kaum Quraisy mengetahui hal itu, niscaya akan hilang penghormatan mereka kepadanya. Akibatnya, akan hilang pula kesempatan untuk membela dan melindungi Nabi Saw. Dengan sebaik-baiknya.
Barangkali siksaan terhadap Abu Thalib ersama orang-orang mukmin yang durhaka bukanlah lantaran ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, hal itu mungkin karena ia tidak mengerjakan shalat yang diperintahkan pada permulaan Islam ,yaitu dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada malam hari sebab, Abu Thalib pernah diminta untuk mengerjakan shalat itu, tetapi ia menolaknya. Demikian pula shalat tahajud yang dilakukan oleh Rasul saw pada permulaan Islam.
Barangkali Abu Thalib enggan mengerjakan shalat karena ia tidak ingin kaum Quraisy mengetahui bahwa ia telah mengikuti nabi saw, sehingga mereka tidak akan menerima lagi jaminan perlindungannya kepada Nabi saw. Oleh karena itu, penolakan Abu Thalib untuk mengerjakan shalat adalah juga dalam rangka megnaburkan kesan kaum Quraisy dan pembelaan kepada nabi saw. Dengan demikian, penolakan Abu Thalib untuk mengerjakan shalat dipandang sebagai uzur. Meskipun demikian, tidak mustahil pula bahwa penolakan tersebut termasuk kemaksiatan yang menyebabkan ia mendapat siksaan, tetapi secara lahiriah, ia memberikan alasan yang lain dalam penolakan itu. Ketika ia diminta untuk mengerjakan shalat ia menjawab, janganlah kalian menganggap diri kalian lebih tinggi daripadaku! Barangkali penolakan tersebut adalah karena kedurhakaan dan kesombongan sehingga karenanya ia mendapat siksaan, meskipun hal itu ia lakukan untuk mengaburkan kesan kaum Quraisy sehingga mereka mengira bahwa ia masih ada di pihak mereka dan mengikuti agama mereka. Selain itu , Abu Thalib masuk ke neraka mungkin saja disebabkan oleh sebagian hak manusia yang ia langgar setelah nabi saw. Diutus menjadi nabi.
Pada awal pembahasannya, Albarzanji menyinggung masalah keselamatan kedua orang tua dan kakek-kakek nabi saw. Di akhirat karena mereka menganut agama tauhid. Kemudian, dalam pembahasan tentang keselamatan Abu Thalib di akhirat, ia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa ada seorang paman nabi saw yang mengatakan kepada beliau “mengapa kamu mencaci orang-orang tua kita dan menghina tuhan-tuhan kita serta menganggap bodoh orang-orang bijak di antara kita ? seperti yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy yang lain. Seandainya mereka mengetahui bahwa orang-orang tua mereka seperti itu, niscaya mereka akan berkata “Berhentilah menyebut ekburukan orang-orang tua mu ! “
Mengenai permusuhan Abu Lahab kepada nabisaw, penyebabnya adalah hubungan ipar antara Abu lahab dan Abu sufyan. Seperti diketahui Abu lahab menikahi saudara perempuan Abu Sufyan, Ummu Jamil, yang setelah islam datang, ia diberi julukan Ummu Qabih (Ibu keburukan), dalam alquran disebut hammalah al-hathab, artin harfiahnya “pembawa kayu bakar “ dan maksdunya adalah penyebar fitnah. Oleh karena itu Abu lahab bertindak sesuai keinginan mereka.
Abu Thalib mengikuti agama para leluhurnya. Seandainya Abu Thalib menyembah berhala, hal itu menjadikannya orang pertama yang menyekutukan Alloh dalam keluarga ‘Abdul Muthalib. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa Abu Thalib adalah oran gpertama yang menyebarkan kemusyrikan dan penyembahan berhala dari keluarga yang diberkahi ini. Sebaliknya, Abu Thalib mengikuti aga ‘Abdul Muthalib dalam segala ihwalnya dalam budi pekerti yang mulia, kehormatan dan kepemimpinan. Bahkan ketika meninggalkan dunia. Ia tetap mengikuti agama Abdul Muthalib. Itulah yang disyariatkan oleh Abu Thalib ketika ia mengatakan kepada kaum kafir Quraisy bahwa ia berpegang pada agama ‘Abdul Muthalib. Ia menyampaikan kepada mereka kalimat-kalimat yang seluruhnya menafikan kemusyrikan dan menunjukkan bahwa ia termasuk orang-orang yang mengesakan alloh. Sebab seperti telah diketahui Abdul Muthalib adalah orang yang mengesakan Alloh swt.
Kesimpulannya hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Abu Thalib seorang kafir dan ia masuk neraka, semua itu menurut hukum-hukum duniawi dan dari sudut pandang lahiriah syariat. Ia masuk neraka karena ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau karena ia meninggalkan salah satu kewajiban yang disyariatkan dalam Islam. Atatu, karena ia telah melanggar hak hamba Alloh. Selain itu, dikatakan bahwa ia masuk neraka tidak menunjukkan bahwa ia kekal di dalamnya. Sebab, hadis-hadis tersebut tidak menyebutkan bahwa Abu Thalib kekal di neraka. Bahkan, nabi saw telah memberikan syafaat kepadanya dengan menjadikannya berada di tepi neraka. Padahal, seandainya Abu Thalib seorang kafir, syafaat nabi saw kepadanya tidak berguna sedikitpun. Demikian pula dalam hadist shaihdisebutkan bahwa penguni neraka yang siksaannya paling ringan adalah orang-orang durhaka dari kalangan kaum Mukmin, sementara Abu Thalib adalah panghuni neraka yang siksaannya paling ringan. Jaid, ia adalah orang yang siksaaannya paling ringan, bahkan dari orang-rang durhaka dari kalangan kaum Mukmin.
Diriwayatkan juga dalam hadis sahih bahwa orang-orang durhaka dari kalangan kaum Mukmin akan dikeluarkan dari neraka Jahim, dan bahwa angin akan menutup pintu-pintu neraka itu dan tanaman seledri air akan tumbuh di sana. Dengan demikian, Abu Thalib termasuk orang-orang yang dikelaurkan dari neraka itu. Bahkan ia dalah orang pertama yang dikeluarkan dari sana karena ia adalah orang yang siksaannya paling irngan di antara mereka, sedangkan orang-orang kafir tidak akan dikeluarkan dari sana.
Dari dalil-dalil tersebut, tampaklah bahwa Abu Thalib, meskipun disiksa di neraka , pasti dikeluarkan dari sana dan dimasukkan ke surga, karena tidak ada penghalan gntara surga dan neraka baginya.
Jika anda berpendapat bahwa para ulama telah menetapkan ada syafaat nabi saw. Untuk orang-orang kafir, dan mereka memandang bahwa hal tersebut merupakan kekhususan bagi beliau. Kemudian, mereka memberikan contoh, yaitu dengan syafaat nabi saw. Kepada Abu Thalib dnegan meringankan siksanya.
Saya katakan bahwa pendapat ini didasarkan pada pada asumsi bahwa Abu Thalib adalah seorang kafir. Padahal telah saya jelaskan tentang keimanannya. Selain itu, saya juga telah menjelaskan bahwa syafaat nabi saw diberikan kepada Abu Thalib karena ia telah melakukan suatu kemaksiatan , yaitu salah satu dosa besar. Dengan demikian Abu Thalib termasuk orang-orang yang disebutkan dalam sabda nabi saw, “syafaatku adalah untuk para pelaku dosa-dosa besar diantara umatku) “ Ini bukan pengecualian dan bukan pula penghkhususan terhadap keumuman makna firman alloh swt “maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat (qs Al Muddatstsir 74 : 48)
-- masih ada lagi lanjutannya, capek ngetiknya bozz -- silahkan anda beli saja bukunya, trims.