Wednesday 27 April 2011

(SIRI 4) Menyoroti Keimanan Abu Thalib


Makna Iman
Oleh Allamah Al-Barzanji.

Pembuktian keimanan bergantung pada pengetahuannya tentang makna iman. Makna iman menurut syariat adalah pengakuan dalam hati atas keesaan Allah swt. Dan risalah nabi Saw, serta pengakuan atas kebenaran segala yang dibawa oleh nabi saw. Dari tuhannya. Sementara itu, makna Islam menurut syariat adalah kepatuhan dengan melakukan perbuatan-perbuatan lahiriah yang telah disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. “Islam adalah terang-terangan (‘alaniyyah), sedangkan iman berada di dalam hati.” Kadang-kadang Islam dan iman menyatu, yaitu dengan pengakuan di dalam hati dan pernyataan atau ikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, kadang-kadang Islam terpecah dari iman, yaitu dalam diri seorang munafik yang secara lahiriah mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengikuti hukum-hukum Islam, sementara di dalam hatinya ia mengingkarinya.
Iman juga kadang-kadang terpisah dari Islam, yaitu dalam diri seseorang  yang dalam hatinya mengakui kebenaran itu, tertapi ia tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat karena pembangkangan dan tidak mengikuti hukum-hukum Islam. Hal ini terjadi pada kebanyakan ulama Yahudi yang mengetahui bahwa Muhammad saw adalah seorang rasul, tetapi mereka tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak mau mengikuti beliau dan tidak mau mengkui apa yang dibawa oleh beliau. Tentang hal ini Alloh swt berfirman yang artinya “Orang-orang yahudi dan nasrani yang telah kami beri alkitab taurat dan injil mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri (QS Al-Bawarah[2]: 146 dan Al-An’am[6]:20
Mereka tidak mau mengakui risalah nabi saw. Karena pembangkangan. Padahal dalam hati, mereka meyakini kebenaran risalah yang dibawa Muhammad saw. Dengan demikian, sebenarnya mereka beriman kepada Muhammad saw, tetapi mereka menampakkan sikap yang mendustakannya karena pembangkangan. Oleh karena itu, keimanan dalam hati mereka tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka disebabkan pengingkaran mereka secara lahiriah.
Sebaliknya, jika seseorang yang secara lahiriah tidak menyatakan keimanan dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat karena suatu uzur, bukan karena pembangkangan, maka dalam hal ini, keimanan dalam hati dapat memberikan manfaat bagi orang tersebut di sisi Allah swt. Di akhirat. Meskipun demikian, orang tersebut mungkin diperlakukan seperti orang kafir. Ia disebut “kafir” menurut hukum-hukum dunia.
Uzur yang mencegah seseorang untuk menyatakan keimanan kepada nabi saw, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah ketakutan terhadap orang zalim. Misalnya , jika ia menampakkan keislamannya dan melaksanakan hukum-hukum Islam , maka orang zalim itu kaan membunuh atau menyiksanya , atau menyiksa salah seorang dari anak-anak atau kerabatnya. Dalam hal ini, ia boleh menyembunyikan keislamannya. Bahkan, Jika orang zalim itu memaksanya untuk mengucapkan ungkapan-ungkapan kekafiran, maka ia boleh mengucapkannya. Berkaitan dengan hal ini, Alloh swt berfirman yang artinya : “barangsiapa yang kafir kepada alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan aloh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang besar (Qs. An-Nahl 16:106)
Termasuk dalam kategori ini adalah halangan Abu Thalib untuk menyatakan keislamannya secara terang-terangan karena kekhawatirannya terhadap keselamatan anak saudaranya, Muhammad Saw. Sebab Abu Thalib ingin melindungi, menolong, dan membelanya dari setiap gangguan yang ditujukan kepadanya sehingga beliau dapat menyampaikan risalah Tuhannya. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy tidak dapat mengganggu Nabi saw. Berkat penjagaan dan perlindungan dari Abu Thalib.
Karena itu, kepemimpinan kaum Quraisy, sepeninggal ‘Abdul Muthalib berada di tangan Abu Thalib. Perintah Abu Thalib dipatuhi oleh kaum Quraisy. Jaminan perlindungannya pun diterima oleh mereka, karena mereka menganggap bahwa Abu Thalib masih menganut agama mereka. Padahal, seandainya mereka mengetahui bahwa Abu Thalib telah memeluk agama Islam dan mengikuti Nabi saw, niscaya mereka tidak akan menerima jaminan perlindungan dan pertolongannya kepada beliau. Mereka pasti memerangi dan menyakiti Abu Thalib serta melakukan tindakan yang jauh lebih buruk terhadapnya daripada pa yang mereka lakukan terhadap nabi saw.
Tidak diragukan, hal ini merupakan alasan yang sangat kuat bagi Abu Thalib untuk tidak menampakkan keimannya kepada Nabi saw dan mengikuti beliau secara terang-terangan. Oleh karena itu Abu Thalib memperlihatkan seakan-akan dirinya masih berpegang pada agama mereka dan ia membela nabi saw. Semata-mata karena alasan hubungan kekerabatan. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy meyakini bahwa Abu Thalib melindungi dan menolong nabi saw. Semata-mata karena sikap fanatisme, bukan karena ia telah mengikuti agama Muhammad saw, karena bangsa arab dikenal dengan kefanatikannya. Padahal hati Abu Thalib telah dipenuhi keyakinan kepada Muhammad saw. Karena ia telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang muncul dalam diri beliau.
Abu Thalib kadang-kadang melantunkan bait-bait syair yang secara lahiriah menunjukkan keimanannya kepada nabi saw. Namun pada kesempatan lain, ia juga melantunkan bait-bait syair di hadapan kaum kafir yang menunjukkan seakan-akan ia masih mengikuti agama mereka dan tidak mengikuti nabi saw. Hal itu ia lakukan untuk menjaga keselamatan jiwanya dan melindungi dirinya dari tuduhan bahwa ia adalah pengikut nabi saw.


Apakah Ucapan Syahadat bagian dari keimanan?
Kemudian, Al-Barzanji menyebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang ucapan dua kalimat syahadat; apakah merupakan bagian dari keimanan atau hanya merupakan syarat berlakunya hukum duniawi? Jika mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan bagian dari keimanan, maka konsekuensinya adalah bahwa orang yang meninggalkannya, sementara ia mampu melakukannya, dinilai kafir dan kekal di neraka. Namun , jika hal itu hanya merupakan syarat berlakunya hukum duniawi, maka ia tidak kekal di neraka.
As-Safaqasi dalam syarh at tamhid berkata “Esensi iman adalah pembenaran (tashdiq). Ini adalah riwayat yang sahih dari Imam Abu Hanifah r.a
Allamah Al-‘Aini dalam syarh al bukhari berkata “pernyataan dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum”. Oleh karena itu, barangsiapa mengakui kebenaran sesuatu yang dibawa oleh Rasul saw. Maka ia adalah seorang mukmin di hadapan alloh swt. Meskipun ia tidak mengikrarkannya dengan lisannya. Hafizhuddin An nasafi berkata, “Hal itu diriwayatkan dari Abu Hanifah. Pendapat inilahyang dianut oleh Imam Abu Al Hsan Al Asy’ari dalam riwayat yang paling sahih darinya, dan ini juga pendapat yang dianut oleh Abu Manshur Al-Maturidi”
Imam ‘Adhduddin dalam Al-Mawaqif berkata, “Iman, menurut mazhab kami , adalah pembenaran terhadap Rasulullah saw. Karena diketahui bahwa apa yang dibawanya merupakan keniscayaan. “Penulis syarah buku tersebut, Sayyid Asy-Syarif, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “menurut mazhab kami” adalah para pengikut mazhab Abu Al Hasan Al-‘Asy’ari. Al Ghazali r.a juga telah menegaskan mazhab ini dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, dan ia telah menjelaskan masalah ini secara lebih terperinci.
Pendapat di atas juga dianut oleh Imam Al-Haramain, para pengikut mazhab Al-Asy’ari, Al-Qadhi Al-Baqilani dan Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayini. Bahkan , At Taftazani menisbatkan pendapat ini kepada mayoritas muhaqqiq dan berdalil dengan hadi-hadis nabi saw, diantaranya “Barangsiapa mengakui dengan tulus bahwa Alloh adalah Tuhannya dan bahwa aku adalah Nabinya, niscaya Alloh mengharamkan dagingnya dari api neraka (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir dari ‘Imran bin Hushain)
‘Utsman bin affan meriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda “Barang siapa meninggal, sementara dia mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Alloh, niscaya dia masuk surga (Hr Al Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Na’im Al-Asyja’i r.a meriwayatkan bahwa rasul saw bersabda “Barangsiapa berjumpa dengan Alloh sementara ia tidak menyekutukannya  dengan sesuatu apa pun, niscaya dia masuk surga. “ Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun dia berzina dan mencuri ?’ Beliau menjawab, “Ya, meskipun dia berzina dan mencuri “ (HR Ath-Thabrani)
Dalam penjelasan tentang syafaat, disebutkan hadis-hadis nabi saw. Mengenai hal tersebut, sehingga pada hari kiamat, dikatakan kepada Rasul saw, “Keluarkanlah dari neraka siapa saja (dari umatmu) yang di dalam hatinya terdapat keimanan, walaupun lebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil daripada biji sawi!”
Al-Barzanji telah menuliskan satu bab tersendiri yang di dalamnya ia mengutip banyak hadis nabi saw. Yang berhubungan dengan hal itu. Semuanya menunjukkan bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan, walaupun lebih kecil, lebih kecil dan lebih kecil daripada biji sawi, niscaya ia tidak kekal di neraka.
At-Taftazani dalam Syarh Al-Maqashid, Al Kamal bin Al Hammam dalam Al Musayarah, dan Ibn Hajar dalam Syarh Al-Arbain mengatakan bahwa keselamatan di akhirat tidak menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat. Jika keselamatan di akhirat menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat, tetapi ia menolaknya karena pembangkangan dan kebencian terhadap Islam, maka ia tidak akan selamat dari neraka.
Dan Syarat tersebut, dipahami bahwa jika ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat setelah dituntut mengucapkannya, bukan karena kebencian terhadap Islam dan bukan pula karena pembangkangan, tetapi karena ada uzur yang dapat diterima, sedangkan hatinya tetap mantap dalam keimanan, maka ia tidak menjadi kafir di hadapan Alloh swt. Bahkan sekalipun ia mengucapkan ungkapan kekafiran karena dipaksa untuk mengucapkannya. Keadaan seperti itu tidak berpengaruh terhadap keimanannya. Alloh swt berfirman
“Barang siap yang kafir pada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan alloh) , kecuali orang yang dipaksa kafir padalhal hatinya tetap mantap dalam kemimanan (Qs An-Nahl 16 : 106)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa iman adalah pembenaran (tashdiq). Namun, pendapat lain mengatakan bahwa pembenaran saja tidak cukup. Seseorang harus mengikrarkan keislaman dengan lisan disertai pembenaran dalam hati. Oleh karena itu, menurut pendapat terakhir ini, orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, padahal ia mampu mengucapkannya, kekal di neraka. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama. An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengutip kesepakatan Ahlus Sunnah dari kalangan ahli hadis, fukaha, dan ahli ilmu kalam terhadap pendapat itu, tetapi mereka menyanggah adanya kesepakatan tersebut.
Ibnu Hajar Syarh Al-Arba’in mengatakan bahwa para imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) memiliki pendapat yang sama, yaitu bahwa ia (orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat) adalah orang Mukmin tetapi ia berbuat durhaka karena tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, mayoritas pengikut mazhab Al-Asy’ari dan sebagian muhaqqiq dari kalangan mazhab Hanafi, sebagaimana dikatakan oleh Al-Kamal bin Al-Hammam dan lain-lain, mengatakan bahwa mengikrarkan syahadat dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja.
Kemudian Ibn Hahar menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang paakah mengucapkan dua kalimat syahadat harus dengan kalimat yang sudah kita kenal atau boleh dengan kalimat lain tetai menunjukkan keimanan. Berkenaan dengan hal ini, ia menyebutkan dua pendapat di kalangan para ulama. Pertama, dua kalimat syahadat harus diucapkan dengan kalimat yang sudah dikenal dan tidak boleh dengan kalimat lain, kedua, dan ini pendapat yang lebih kuat, dua kalimat syahadat tidak harus dengan kalimat yang sudah dikenal, dan menyatakan keimanan dapat dilakukan dengan kalimat lain.
Kemudian, hendaklah diketahui bahwa yang dimaksud dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bukan mengucapkan dua kalimat yang khusus (yang sudah dikenal). Hal itu bertentangan dengan pendapat Al-Ghazali, sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah, dan ia menisbatkan pendapat itu kepada seluruh ulama.
Al-Halimi dalam Al Minhaj mengatakan bahwa tidak ada perdebatan mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa pernyataan keimanan sudah dinilai sah bila dilakukan dengan kalimat lain, selain la ila ha illallah(tiada tuhan selain alloh). Dengan demikian , seseorang boleh mengucapkan la ilaha ghairullah, la ilaha ma’adallah, lailaha siwallah, ma min ilahin ilallah yang kesemuanya berarti “Tiada tuhan selain Alloh” Ia juga boleh mengucapkan la ilaha illallah (Tidak ada Tuhan yang pemurah selain Alloh) atau la ilaha illa al bari (Tidak ada tuhan yang maha pencipta). Semua kalimat itu memiliki makna yang sama dengan kalimat la ilaha illallah (Tiada tuhan selain Alloh)
Demikian pula, dalam syahadat Rasul seseorang boleh mengucapkan muhammad nabiyullah (Muhammad adalah Nabi Alloh), muhammad mab’utsuhu (Muhammad adalah utusanNYA), atau muhamamd al-mahi (Muhammad adalah penghapus syariat sebelumnya), atau kalimat dalam bahasa lain yang menunjukkan hal itu. Dengan mengucapkan kalimat mana pun dari kalimat-kalimat di atas, keislaman seseorang sudah dinilai sah, dan ia dinyatakan sebagai muslim.

Sumber :Benarkah Abu Thalib seorang mukmin , Tinjauan Alquran & Hadis , hal 15 s/d 31 oleh Allamah Ahmad bin Zaini dahlan


(SIRI 3) Dalil pijakan atas kekafiran Abu Thalib yang Justru merupakan bukti otentik selamatnya Abu Thalib

Dalil-dalil yang dijadikan pijakan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak akan selamat di akhirat yang dikupas lagi oleh Al-Barjanzi sehingga berbalik menjadi dalil-dalil menegaskan keimanan Abu Thalib diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra. Paman nabi saw. Bahwa ia pernah berkata kepada Rasul saw. “Abu Thalib adalah orang yang telah menjaga dan membelamu, dna ia juga marah demi melindungimu. Apakah semua itu berguna baginya ? “Rasulullah saw menjawab “Ya. Aku mendapatinya di neraka, lalu aku mengeluarkannya menuju tepi neraka. Sekiranya bukan karena aku, niscaya dia berada di dasar neraka. (HR. BUKHARI dan MUSLIM)
Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri ra disebutkan bahwa nama paman Nabi saw. Abu Thalib , disebut-sebut di majelis nabi saw. Kemudian, beliau bersabda “Barangkali, syafaatku akan dia dapatkan pada hari kiamat. Oleh karena itu, dia ditempatkan di tepi neraka dan api hanya mencapai kedua mata kakinya, sementara otaknya mendidih” (HR AL BUKHARI DAN MUSLIM)
Dalam Riwayat lain, Nabi saw. Bersabda “Penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib” (HR MUSLIM)
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat mengatakan bahwa hadist-hadist sahih tersebut menunjukkan bahwa Abu Thalib adalah seorang kafir dan ia berada di neraka. Dengan demikian, tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa Abu Thalib selamat di akhirat. Sebab, nabi saw sendiri telah memberitahukan keadaannya di hadapan Alloh di akhirar. Selain itu, menurut mereka hal tersebut juga menunjukkan bahwa Abu Thalib tidak menyimpan keimanan terhadap Nabi Saw dalam hatinya. Adapun apa yang telah dilakukannya yaitu membela Nabi saw semata-mata karena fanatisme Arab dan harga diri, sehingga ia tidak ingin membiarkan anak saudaranya itu terbunuh di hadapannya, sementara ‘Abdul Muthalib telah berpesan kepadanya agar memeliharanya.
Namun, saya katakan bahwa hadis-hadist di atas justru menunjukkan keimanan dan keselamatan Abu Thalib di akhirat. Sebab Alloh swt. Telah memberitahukan tentang orang-orang kafir, bahwa siksaan mereka tidak akan diringankan, mereka tidak akan dikeluarkan dari neraka, dan syafaat dari orang-orang yang berhak memberikan syafaat tidak berguna bagi mereka. Dan masih banyak keterangan lain tentang mereka.
Dalam sebuah riwayat yang sahih disebutkan bahwa neraka jahim adalah suatu tingkatan di neraka, tempat penyiksaan bagi orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin. Kemudian, mereka dikeluarkannya dari sana. Neraka Jahim adalah tingkatan neraka yang paling tinggi (Siksaannya paling ringan). Sementara itu, orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin mendapatkan siksaan yang lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang kafir. Dengan demikian, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis sahih, Abu Thalib adalah penghuni neraka yang paling ringan siksaannya. Artinya ia adalah orang yang mendapatkan siksaan yang paling ringan, bahkan lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang durhaka dari kalangan kaum mukmin. Seandainya kita tidak berpendapat seperti itu pun, tidak terbukti bahwa nabi saw bersabda bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka yang mendapatkan siksaan yang paling ringan.
Seandainya Abu Thalib dianggap kafir dan kekal di neraka, sementara ia adalah penghuni neraka yang mendapatkan siksaan yang paoing ringan, berarti siksaan terhadap orang kafir lebih ringan daripada siksaan terhadap sebagian orang mukmin yang durhaka. Padahal, tidak seorang pun berpendapat demikian.
Dengan demikian, terbukti bahwa siksaan terhadap Abu Thalib lebih ringan daripada siksaan terhadap orang-orang durhaka dari kalngan kaum mukmin, dan terbukti pula bahwa syafaat nabi saw berguna baginya sehingga ia mendapatkan pengurangan siksaan, dijadikan sebagai penghuni neraka yang mendapat siksaan yang paling ringan, dan dikeluarkan dari dalam neraka menuju tepinya. Seandainya bukan karena nabi saw, niscaya ia berada di neraka. Ia diberi sepasang sandal dari api, sehingga api neraka tidak menyentuh punggung kakinya. Ini adalah tingkatan neraka yang paling tinggi (yang siksaannya paling ringan), dan tidak ada lagi neraka yang lebih tinggi dari ini.
Api neraka hanya menyentuh telapak kaki Abu Thalib. Hal ini hanya terjadi pada tingkatan Al-Ghauqaniyyah yang merupakan tempat bagi orang-orang durhaka dari kalangan umat ini. Dalam hadis-hadis sahih disebutkan bahwa mereka dikeluarkan dari neraka tersebut, dan tidak tersisa seorang pun yang di dalam hatinya terdapat keimanan walaupun lebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil lagi dari pada biji sawi.
Dalam hadist sahih juga diriwayatkan bahwa tingkatan neraka terse ut adalah sesudah orang-orang durhaka dari umat ini dikeluarkan darinya, sehingga pai neraka itu padam dan angin berembus menutup pintu neraka tersebut. Kemudian di neraka itu, tumbuh tanaman seledri air. Padahal tidak mungkin tanaman seledri air akan tumbuh jika di sana masih terdapat api walaupun hanya mengenai telapak kai. Dengan demikian, menurut dalil-dalil ini dan juga dalil-dalil sahih yang lain, Abu Thalib pasti dikeluarkan dari neraka tersebut.
Selanjutnya, dalam hadist sahih diriwayatkan bahwa nabi saw, bersabda “syafaatku adalah untuk orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (dari umatku). Dalam riwayat lain disebutkan, “… untuk orang-orang yang tidak menyekutukan Alloh dengan suatu apa pun” Artinya syafaat untuk pengampunan dosa dikhususkan bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, karena dosa-dosa kecil bisa ditebu dengan menjauhi dosa-dosa besar. Oleh karena itu syafaat orang-orang yang berhak memberi syafaat tidak berlaku bagi orang-orang kafir, karena Alloh tidak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukannya. Jika sesorang tidak diampuni dosanya, maka ia tidak akan mendapatkan syafaat. Sebab, adanya siksaan karena adanya dosa. Seseorang yang tidak diampuni dosanya, tidak akan dihilangkan siksaannya. Jika dosa syirik tidak diampuni, maka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat tidak berguna baginya, termasuk syafaat nabi saw. Syafaat beliau tidak berguna bagi orang-orang kafir, sebagimana juga syafaat dari orang lain.
Namun, Abu Thalib telah mendapat syafaat nabi saw. Sehingga siksaannya diringankan dan ia dikeluarkan dari tengah neraka menuju e tepinya dengan syafaat tersebut. Dengan demikian, ia dapat dikategorikan ke dalam kelompok orang-orang yang melakukan dosa besar, bukan termasuk orang-orang kafir. Selain itu, ia juga pasti dikeluarkan dari neraka karena ia termasuk orang-orang durhaka dari umat ini, yang berada di tingkatan neraka yang paling tinggi (ringan). Setiap orang yang keadaannya seperti ini, ia pasti dikluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Inilah makna sabda nabi saw, “Aku berharap ia mendapatkan segala kebaikan dari tuhanku”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dan Ibn ‘Asakir dari Ibn ‘Abbas r.a, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasul saw, Apa yang engkau harapkan bagi Abu Thalib? Beliau menjawab, “Aku berharap ia mendapatkan segala kebaikan dari Tuhanku”. Tentu segala kebaikan diharapkan untuk seorang mukmin, dan tidaklah mungkin maksudnya hanya peringanan siksaan. Sebab, peringanan siksaan tidak disebut kebaikan, apalagi disebut segala kebaikan. Akan tetapi, segala kebaikan bukan berarti diringankan keburukan dan sebagian keburukan itu lebih ringan daripada sebagian yang lain. Segala kebaikan itu adalah masuk surga.
Tammam Az Zari dalam Al Fawa’id meriwayatkan hadis dengan sanadnya yang dimuat dalam Al-Manaqib dari Ibn ‘Umar r.a bahwa Rasul saw bersabda, “Pada hari kiamat, aku akan memberikan syafaat kepada ayahku, ibuku, pamanku (Abu Thalib), dan saudaraku yang meninggal pada masa jahiliah” Al Muhibb Ath Thabari juga meriwayatkan hdist tersebut dalam Dzakha’ir Al ‘Uqba dalam bab “Dzawil Qurba. Demikian pula Abu Na’im , dan ia mengatakan bahwa saudara nabi saw tersebut adalah saudara sepersusuan.
Sebutan neraka meliputi seluruh tingkatannya. Rasul saw telah memberitahukan bahwa Abu Thalib adalah penghuni neraka yang siksaannya paling ringan. Beliau pun menjelaskan alsannya yaitu api hanya menyentuh kedua telapak kaki Abu Thalib.Oleh karena itu, tidak mungkin dikatakanbahwa Abu Thalib adalah seorang kafir. Sebab, di antara orang-orang mukmin sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadis sahih, ada orang yang disiksa karena satu dosa, seperti berkhianat (mengambil harta rampasan perang secara tidak sah), durhaka kepada orang tua, menyiksa seekor kucing, dna berjalan dengan sombong. Orang itu mendapatkan siksaan yang lebih besar daripada yang dialami oleh Abu Thalib.
Tentang orang yang mencuri harta rampasan perang (ghanimah), yaitu berupa sebuah mantel kecil, diriwayatkan bahwa api neraka membakarnya. Demikian pula, orang yang mengambil sebuah selimut yang terbuat dari bulu domba, akan dipakaikan padanya sebuah baju besi yang membara. Sebaliknya, orang yang datang pada hari iamat, dan tidka pernah mencuri harta rampasan perang , ia akan masuk surga. Sementara itu, orang yang durhaka kepada orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, termasukdiantara orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar. Bahkan, dalam beberapa hadis disebutkan , bahwa durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa yang paling besar, berada setingkat di bawah dosa akibat menyekutukan alloh. Alloh swt berfirman “Sembahalah alloh dan janganlah kamu mempersekutukanNYA dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QS. An Nisa 4 :36)
Dalam sebuah hadis sahih juga diriwayatkan bahwa rasul saw. Bersabda “Ada tiga hal yang menyebabkan amal kebaikan idak berguna , yaitu menyekutukan alloh, durhaka kepada kedua orang uta, dan kabur dari medan perang”
Dalam hadis sahih yang lain disebutkan bahwa rasul saw. Bersabda pada hari kiamat, alloh tidak akan memandang kepada orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Masih banyak hadis sahih yang menjelaskan tentang besarnya sisaan terhadap orang yang durhaka kepada keuda orang tua, dan ia adalah orang yang paling durhaka daripada para pendurhaka dari kalangan orang-orang mukmin yang dikeluarkan dari neraka.
Tentang siksaaan terhadap orang yang menyiksa seekor kucing, dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa seorang perempuan masuk neraka gara-gara seekor kucing. Ia mengurung kucing itu tanpa memberinya makan dan minum hingga mati kelaparan. Sementara itu, tentang larangan berjalan dengan sombong, banyak sekali hadis yang menyebutkan larangan atas perbuatan tersebut dan besarnya siksaan bagi pelakunya.
Dengan demikian, seandainya Abu Thalib adalah seorang kafir, maka siksaan terhadapnya menunjukkan bahwa siksaan terhadap orang kafir lebih ringan daripada siksaanterhadap orang yang melakukan dosa-dosa besar. Padahal, sudha pasti bahwa siksaan yang disebabkan oleh kekafiran jauh lebih besar daripada siksaan yang disebabkan oleh dosa-dosa besar. Hal ini sudah jelas dan tidak diragukan lagi sama sekali. Sebab, kekafiran lebih besar daripada dosa-dosa besar dan merupakan dosa yang tidakterampuni. Keadaannya berbeda dengan dosa-dosa besar yang lain. Seandainya ada orang mukmin pendurhaka yang mendapatkan siksaan lebih ringan daripada siksaan terhadap Abu Thalib, niscaya hal itu pun bertentangan dengan sabda Rasul saw.yang menyebutkan bahwa orang yang siksaannya paling ringan adalah Abu Thalib.
Ringkasnya, siksaan terhadap Abu Thalib adalah seperti siksaan terhadap orang-orang durhaka yang lain dari kaum mukmin. Bahkan, diantara orang mukmin yang durhaka, siksaannya adalah yang paling ringan. Jika siksaan itu kita kaitkan dengan disa besar, maka hal itu semata-mata karena Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat. Ini pun jika kita asumsikan bahwa ia tidak mengucapkan kalimat syahadat. Seandainya tidak mengucapkan kalimat syahadat merupakan perbuatan maksiat dan termasuk dosa-dosa besar, maka uzur Abu Thalib dengan tidak mengucapkannya tidak membatalkan keabsahan keimannya. Akan tetapi, tidak dinafikan juga bahwa tidak mengucapkan kalimat syahadat termasuk perbuatan-perbuatan maksiat.
Atau, mungkin saja Abu Thalib telah mengucapkan kalimat syahadat, tetapi nabi saw tidak mendengarnya. Oleh karena itu, nabi saw, mengira bahwa ia tidak pernah mengucapkannya. Hal itu karena nabi saw menemui Abu Thalib ketika ia menjelang ajal, sementara disampingnya ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah al makhzumi. Nabi saw berkata kepada Abu Thalib “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah (tiada tuhan selain alloh), satu kalimat yang dengannya aku akan bersaksi untukmu dihadapan alloh”
Melihat hal itu Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah berkata. “Wahai Abu Thalib, apakah kamu telah membenci agama ‘Abdul Muthalib? Kedua orang itu terus menerus mengulangi ucapan mereka hingga akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka bahwa ia tetap mengikuti agama yang dianut ‘Abdul Muthalib dan tidak mengucapkan la ilaha illallah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abu Thalib melihat keinginan kuat rasul saw, agar ia beriman, ia berkata wahai anak saudarku, sekiranya bukan karena khawatir orang-orang quraisy akan mencemoohkaku, aku akan mengucapkannya, karena aku takut terhadap kematian.
Dalm riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abu Thalib menjelang ajalnya, Al Abbas memandanginya. Ia melihat kedua bibir Abu Thalib bergerak.Ia pun segera mendekat dan memasang pendengarannya, sehingga ia mendengar Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian , al Abbab berkata kepada nabi saw “Wahai anak saudaraku, demi alloh, sesunggunya saudaraku ini (Abu Thalib) benar-benar telah mengucapkan kalimat yang telah engkau perintahkan kepadanya agar diucapkan. Al Abbas tidka secara tegas menebutkan kalimat la ilaha illallah karena ketika tiu ia sendiri belum memeluk Islam. Akan tetapi, Rasul Saw berkata kepadanya “Aku tidakmendengarnya” inilah yang dijadikan alasan oelh sebagian orang, bahwa nabi saw, tidak menganggap Abu Thalib telah mengucapkan syahadat, sehingga seakan-akan ia tidak pernah mengucapkannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat, tidak berpegang pada hadis ini. Alasannya ketika Al Abbas menyaksikan peristiwa itu, ia masih kafir, belum memeluk Islam. Sementara itu, sebagian lain menilai bahwa hadis ini lemah. Seandainya kita menerima bahwa nabi saw. Tidak menganggap Abu Thalib telah mengucapkan syahadat, seperti yang disampaikan oleh Al Abbas dan hadis tersebut lemah (dhaif), maka kami katakan bahwa Abu Thalib adalah kafir menurut penilaian hukum-hukum duniawi. Namun, disisi alloh, ia adalah seorang mukmin yang selamat di akhirat. Hatinya telah dipenuhi keimanan sebagaimana ditegaskan dalam dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
Diantar dalil-dalil yang menunjukkanhal itu, barang kali ia sengaja tidak mengucapkan kalimat tauhid (la ilaha illallah) karena kehadiran Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah. Sebab, Abu Thalib sangat ingin menjaga dan melindungi Muhammad saw dari gangguan merka sepeninggalnya. Menurutnya, jika ia menampakkan diri sekan-akan tetap mengikuti agama mereka, niscaya jaminan perlindungan dan penghormatanya kepada nabi saw dapat diterima oleh kaum quraisy pasca kematiannya, sehingga mereka tidak mengganggu beliau. Seandainya maksdun Abu Thalib memang demikian, jawaban Abu Thalib yang disampaikan kepada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, bahwa ia tetap mengikuti agama mereka sekadar untuk menyenangkan hati mereka. Hal itu agar mereka tidak mengganggu nabi saw sepeninggalnya.
Selain itu, kita dapat menggabungkan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat dan pendapat yang mengatakan bahwa ia mengucapkannya. Dalam hal ini, Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat syahadat karena kehadiran Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah demi menyenangkan hati mereka. Namun, ketika kedua orang itu telah pergi, Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat dan hal itu didengar oleh Al ‘Abbas. Oleh karena itu , dalam hadist tersebut disebutkan, … “Akhirnya Abu Thalib berkata kepada mereka.. “ Ini maksudnya adalah akhir perkataan Abu Thalib kepada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, bukan ucapan terakhir Abu Thalib menjelang kematiannya.
Ucapan Abu Thalib bahwa ia tetap mengikuti agama yang dianut oleh ‘Abdul Muthalib , hal itu merupakan bukti bahwa ia mengikuti agama tauhid. Sebab, ‘Abdul Muthalib juga menganut agama tauhid, seperti kakek-kakek Rasulsaw. Yang lain, sebagimana yang ditegaskan oleh As Suyuthi dan lain-lain dalam buku mereka. Oleh karena itu, Abu Thalib sengaja memberikan jawaban yang sama kepada mereka untuk memuaskan mereka secara lahirah, padahal , ia mengetahui bahwa Abdul Muthalib menganut agama tauhid.
Ibn ‘Asakir meriwayatkan bahwa ‘Amr bin Al Ash berkata “Saya mendengar rasul saw bersabda “Sesungguhnya Abu Thalib memiliki hak kekerabatan terhadapku. Aku akan menyambung hak kekerabatan itu dengannya.”
Orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak selamat di akhirat mengatakan “Hadi yang diriwayatkan Shahih Al Bukhari dan Sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di neraka menafikkan keimanannya. Hal ini seperti itu berlaku bagi orang yang mati dalam kekafiran.
Berkaitan dengan hal ini, kami tegaskan bahwa orang yang mati dalam kekafiran tidak akan berada di tepi neraka, tetapi ia akan berada di tingkatan neraka yang paling bawah. Oleh karena itu, syafaat nabi saw yang didapatkan oleh Abu Thalib sehingga ia berada di tepi neraka merupakan bukti bahwa ia bukan seorang kafir. Sebab orang kafir tidak akan mendapakan syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.
Adapun sabda nabi saw “Kalau bukan karena aku, niscaya dia berada di dasar neraka” Hadis ini maksudnya kalau bukan karena alloh telah memberikan hidayah kepadanya agar beriman , niscaya ia akan mati dalam kekafiran dan ia akan berada di dasar neraka.
Dalil serupa adalah sabda nabi saw. Berkenaan dengan seorang anak Yahudi yang dijenguk oleh beliau ketika ia sedang sakit. Ketika itu,beliau mengajaknya agar memeluk Islam. Anak Yahudi pun memeluk Islam, lalu ia meninggal. Pada kesempatan itu beliau bersabda “Segala puji bagi alloh yang telah menyelamatkannya dengan perantaraanku dari neraka”
Pada saat itu, tampaklah kepada kita makna yang sangat dalam dari hadis itu yang menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di neraka, lalu beliau memberinya syafaat, sehingga ia ditarik ke tepinya. Artinya, Abu Thalib hampir masuk ke dasar neraka karena enggan mengucapkan kalimat syahadat, lalu nabi saw memberikannya syafaat , sehingga alloh memberinya hidayah agar beriman. Hal ini tidak bertentangan dengan sabda nabi saw “Aku tidak mendengarnya” sebab mungkin saja setelah itu,, Alloh memberitahukannya kepada nabi saw. Mengenai firman alloh swt : Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNYA.  (QS. Al Qashash 28 : 56), mungkin benar bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Thalib. Namun, ayat ini menegaskan bahwa hanya alloh yang memberikan petunjuk kepada Abu Thalib setelah nabi saw, berputus asa dalam membujuknya agar ia beriman.
Ibn Sa’ad dan Asakir meriwayatkan bahwa Ali r.a berkata “Saya menyampaikan berita kematian AbThalib kepada nabi saw. Mendengar berita itu, beliau mengangis. Lalu bersabda, ‘pergilah, lalu mandikan , kafani dan kuburkanlah dia! Semoga alloh mengampuni dan merahmatinya’. Saya melaksanakan apa yang beliau perintahkan “ Nabi saw tidak ikut mengantarkan jenazah Abu Thalib. Hal itu semata-mata untuk menghindari kejahatan orang-orang yang lemah akal dari kalangan kaum Quraisy. Adapun, mengapa nabi saw tidak menshalatkan jenazah Abu Thalib, karena ketika itu shalat jenazah belum disyariatkan.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa setelah Abu Thalib meninggal dunia, kaum Quraisy sering mengganggu nabi saw, sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya, ketika Abu Thalib masih hidup. Diantaranya, seseorang dari kalangan Quraisy menghadang nabi saw. Di jalan, lalu menaburkan tanah di kepala beliau. Setiba di rumah, rambut rasul saw masih berlumuran tanah, maka salah seorang putri beliau menghampirinya lalu menghilangkan tanah itu sambil menangis. Rasul saw berkata kepada putrinya, wahai putriku, janganlah menangis, karena alloh senantiasa melindungi ayahmu.
Rasu Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang ditimpakan orang-orang Quraisy kepada diriku yang lebih tidak kusukai daripada apa yang mereka timpakan setelah Abu Thalib meninggal.”
Gangguan kaum kafir Quraisy yang lebih gencar terhadap rasul saw. Terbukti kemudian, yaitu manakala mereka keluar dari rumah Abu Thalib dalam keadaan marah dan dendam kepada beliau. Pasalnya mereka melihat rasul saw terus menerus meminta Abu Thalib agar mengucapkan kalimat syahadat. Ketika Rasulullah saw melihat kaum kafir Quraisy mulai berani melakukan penyerangan dan gangguan terhadap dirinya, beliau berkata, “Wahai pamanku, alangkah cepat kedatangan sesuatu yang aku dapatkan sepeninggalmu!”
Ali r.a berkata, “ketika Abu Thalib meninggal , saya berkata kepada rasul saw, wahai rasulullah pamanmu , seorang tua yang sesat, telah meninggal dunia. Beliau bersabda, “Pergilah dan kuburkanlah dia! Saya berkata,’ia meninggal dalam keadaan musyrik, beliau bersabda ‘Pergilah dan kuburkanlah dia !” Setelah selesai menguburkannya, saya kembali kepada nabi saw, lalu beliau bersabda ‘Mandilah kamu !” (HR Al Baihaqi)
Ucapan Ali ra “… pamanmu, seorang tua yang sesat, telah meninggal dunia,” bertentangan dengan hadis sebelumnya. Hal itu dilihat dari keadaan lahiriahnya di dunia. Barangkali, “Ali ra mengatakan demikian dihadapan orang-orang yang lemah akal dari kalangan kaum musyrik untuk mengambil hati mereka. Oleh karena itu, hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis sebelumnya bila dilihat dari hakikatnya dalam perkara ini, yaitu keimanan dan pembenaran Abu Thalib terhadap nabi saw.
Boleh saja mengabarkan tentang Abu Thalib, bahwa ia seorang kafir bila dilihat dari keadaan lahiriahnya dan dari aspek hukum dunia. Namun, hal ini tidak bertentangan penjelasan bahwa Abu Thalib adalah seorang Mukmin bila dilihat dari aspek hakikat dan apa yang ada disisi Alloh. Semua itu ssuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang telah kami kemukakan sebelum ini yang menunjukkan keimanan dan pengakuannya atas kenabian Muhammad SAW.
Dalil-dalil yang kami kemukakan tentang keselamatan Abu Thalib di akhirat sudah cukup jelas, dan tidak memerlukan penjelasan lagi. Akan tetapi kami akan memberikan penjelasan tambahan untuk menguatkannya. Berkenaan dengan hal ini. Alloh swt. Berfirman.
Maka, orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (Qs. Al-A’raf 7 : 157)
Abu Thalib telah membenarkan dan menolong nabi saw. Sebagaimana telah sama-sama kita ketahui. Untuk itu, ia harus berhadapan dengan kaum Quraisy. Tak seorang pun yang mengingkari kenyataan ini. Dengan demikian, Abu Thalib termasuk orang-orang yang beruntung.
Adapun, orang-orang yang berpendapat bahwa Abu Thalib tidak beriman, mengatakan bahwa Abu Thalib telah menolong Nabi saw. Tetapi ia tidak mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya, yaitu Alquran, yang mengajak ke dalam tauhid. Oleh karena itu, menurut mereka, Abu Thalib tidak mendapatkan keberuntungan kecuali memenuhi seruan alquran.
Saya katakan bahwa jika yang dimaksud dengan keberuntungan adalah keselamatan dari neraka, maka hal itu hanya diraih dengan keimanan, yang pembenaran (tashdiq), seperti dikatakan oleh muhaqqiq. Dan hal itu ada pada Abu Thalib. Namun jika yang dimaksud adalah keberuntungan yang sempurna, maka ketiadaannya tidak menyebabkan kekafiran. Selain itu, saya katakan bahwa Abu Thalib adalah orang yang mengikuti nabi saw. Bahkan ia juga menyuruh orang lain untuk mengikuti beliau.
Jika keimanan diartikan dengan pembenaran (tashdiq). Maka hal itu ada pada diri Abu thalib. Ketika itu, pengikutan (kepada nabi saw). Dalam hal yang disyariatkan hanyalah pada masalah tauhid, silaturahim dan meninggalkan penyembahan berhala. Hal itu sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Abu Thalib pernah bertanya kepada Nabi saw. Dengan cara apa kamu diutus menjadi nabi? Nabi saw, memberitahukan bahwa beliau diutus menjadi nabi dengan menjalin silaturahim, menyembah alloh, dan tidak menyembah sesuatu selain dia. Pada saat itu, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad belum diwajibkan. Yang disyariatkan hanyalah ucapan la ilaha illallah (tiada tuhan selain alloh).
Seandainya mengucapkan la ilaha ilallah dianggap sebagai syarat tauhid, maka seperti telah disebutkan sebelum ini Abu Thalib telah mengucapkan kalimat tauhid, hakikat kerasulan , dan pembenaran terhadap kenabian Muhammad saw. Dalam syair-syairnya. Adapun nabi saw meminta Abu Thalib agar mengucapkan la ilaha ilallah menjelang kematiannya, hal itu semata-mata untuk menyempurnakan keimanan menjelang kematiannya.
Disamping itu, jika ia tidak dianggap telah mengucapkan kalimat tauhid menjelang kematiannya, maka dalil-dalil sebelum ini telah menunjukkan secara jelas bahwa membenarkan kenabian muahmmad saw. Dalam hatinya. Adapun , ia enggan mengucapkan kalimat tauhid ketika menjelang kematiannya, hal itu karena ia khawatir bila ucapan itu semata-mata karena ia takut menghadapi kematian, sedangkan takut menghadapi kematian merupakan aib bagi mereka. Di samping itu mereka berasal dari keturunan yang mulia dan memiliki kepemimpinan yang kuat.  Oleh karena itu, mereka tidak rela bila dinisbatkan pada sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat kemuliaan, sehingga hal itu merupakan uzur bagi mereka.
Semua ini bila kita memandang perkara tersebut dari aspek lahiriahnya. Adapun, bila kita memandangnya dari aspek batiniahnya, penyebab utama mengapa Abu Thalib tidak mau mengucapkan kalimat tauhid di hadapan beberapa tokoh musyrik Quraisy adalah demi membela melingungi dan menolong nabi saw. Sebab Abu Thalib benar-benar menyadari bahwa jika ia mengucapkan kalimat tauhid itu di hadapan para pemuka musyrik Quraisy, dan mereka mengetahui bahwa ia telah mengikuti Muhammad saw, niscaya mereka tidak akan mengindahkan lagi jaminan perlindungannya terhadap nabi saw. Dan mereka tidak akan memandang lagi kedudukannya di tengah mereka. Selain itu, mereka akan membatalkan jaminan perlindugnannya dan mencemarkan kehormatannya, serta menyakiti nabi saw dengan cara yang melampaui batas. Padahal , Abu Thalib sangat menginginkan agar dakwah nabi saw kepada umat manusia ini terus berjalan sepeninggalnya.
Untuk tujuan itu, Abu Thalib benar-benar menjaga diri agar kehormatannya terus terpelihara di hati kaum Quraisy. Seandainya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan kaum Quraisy mengetahui hal itu, niscaya akan hilang penghormatan mereka kepadanya. Akibatnya, akan hilang pula kesempatan untuk membela dan melindungi Nabi Saw. Dengan sebaik-baiknya.
Barangkali siksaan terhadap Abu Thalib ersama orang-orang mukmin yang durhaka bukanlah lantaran ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, hal itu mungkin karena ia tidak mengerjakan shalat yang diperintahkan pada permulaan Islam ,yaitu dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada malam hari sebab, Abu Thalib pernah diminta untuk mengerjakan shalat itu, tetapi ia menolaknya. Demikian pula shalat tahajud yang dilakukan oleh Rasul saw pada permulaan Islam.
Barangkali Abu Thalib enggan mengerjakan shalat karena ia tidak ingin kaum Quraisy mengetahui bahwa ia telah mengikuti nabi saw, sehingga mereka tidak akan menerima lagi jaminan perlindungannya kepada Nabi saw. Oleh karena itu, penolakan Abu Thalib untuk mengerjakan shalat adalah juga dalam rangka megnaburkan kesan kaum Quraisy dan pembelaan kepada nabi saw. Dengan demikian, penolakan Abu Thalib untuk mengerjakan shalat dipandang sebagai uzur. Meskipun demikian, tidak mustahil pula bahwa penolakan tersebut termasuk kemaksiatan yang menyebabkan ia mendapat siksaan, tetapi secara lahiriah, ia memberikan alasan yang lain dalam penolakan itu. Ketika ia diminta untuk mengerjakan shalat ia menjawab, janganlah kalian menganggap diri kalian lebih tinggi daripadaku! Barangkali penolakan tersebut adalah karena kedurhakaan dan kesombongan sehingga karenanya ia mendapat siksaan, meskipun hal itu ia lakukan untuk mengaburkan kesan kaum Quraisy sehingga mereka mengira bahwa ia masih ada di pihak mereka dan mengikuti agama mereka. Selain itu , Abu Thalib masuk ke neraka mungkin saja disebabkan oleh sebagian hak manusia yang ia langgar setelah nabi saw. Diutus menjadi nabi.
Pada awal pembahasannya, Albarzanji menyinggung masalah keselamatan kedua orang tua dan kakek-kakek nabi saw. Di akhirat karena mereka menganut agama tauhid. Kemudian, dalam pembahasan tentang keselamatan Abu Thalib di akhirat, ia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa ada seorang paman nabi saw yang mengatakan kepada beliau “mengapa kamu mencaci orang-orang tua kita dan menghina tuhan-tuhan kita serta menganggap bodoh orang-orang bijak di antara kita ? seperti yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy yang lain. Seandainya mereka mengetahui bahwa orang-orang tua mereka seperti itu, niscaya mereka akan berkata “Berhentilah menyebut ekburukan orang-orang tua mu ! “
Mengenai permusuhan Abu Lahab kepada nabisaw, penyebabnya adalah hubungan ipar antara Abu lahab dan Abu sufyan. Seperti diketahui Abu lahab menikahi saudara perempuan Abu Sufyan, Ummu Jamil, yang setelah islam datang, ia diberi julukan Ummu Qabih (Ibu keburukan), dalam alquran disebut hammalah al-hathab, artin harfiahnya “pembawa kayu bakar “ dan maksdunya adalah penyebar fitnah. Oleh karena itu Abu lahab bertindak sesuai keinginan mereka.
Abu Thalib mengikuti agama para leluhurnya. Seandainya Abu Thalib menyembah berhala, hal itu menjadikannya orang pertama yang menyekutukan Alloh dalam keluarga ‘Abdul Muthalib. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa Abu Thalib adalah oran gpertama yang menyebarkan kemusyrikan dan penyembahan berhala dari keluarga yang diberkahi ini. Sebaliknya, Abu Thalib mengikuti aga ‘Abdul Muthalib dalam segala ihwalnya dalam budi pekerti yang mulia, kehormatan dan kepemimpinan. Bahkan ketika meninggalkan dunia. Ia tetap mengikuti agama Abdul Muthalib. Itulah yang disyariatkan oleh Abu Thalib ketika ia mengatakan kepada kaum kafir Quraisy bahwa ia berpegang pada agama ‘Abdul Muthalib. Ia menyampaikan kepada mereka kalimat-kalimat yang seluruhnya menafikan kemusyrikan dan menunjukkan bahwa ia termasuk orang-orang yang mengesakan alloh. Sebab seperti telah diketahui Abdul Muthalib adalah orang yang mengesakan Alloh swt.
Kesimpulannya hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Abu Thalib seorang kafir dan ia masuk neraka, semua itu menurut hukum-hukum duniawi dan dari sudut pandang lahiriah syariat. Ia masuk neraka karena ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau karena ia meninggalkan salah satu kewajiban yang disyariatkan dalam Islam. Atatu, karena ia telah melanggar hak hamba Alloh. Selain itu, dikatakan bahwa ia masuk neraka tidak menunjukkan bahwa ia kekal di dalamnya. Sebab, hadis-hadis tersebut tidak menyebutkan bahwa Abu Thalib kekal di neraka. Bahkan, nabi saw telah memberikan syafaat kepadanya dengan menjadikannya berada di tepi neraka. Padahal, seandainya Abu Thalib seorang kafir, syafaat nabi saw kepadanya tidak berguna sedikitpun. Demikian pula dalam hadist shaihdisebutkan bahwa penguni neraka yang siksaannya paling ringan adalah orang-orang durhaka dari kalangan kaum Mukmin, sementara Abu Thalib adalah panghuni neraka yang siksaannya paling ringan. Jaid, ia adalah orang yang siksaaannya paling ringan, bahkan dari orang-rang durhaka dari kalangan kaum Mukmin.
Diriwayatkan juga dalam hadis sahih bahwa orang-orang durhaka dari kalangan kaum Mukmin akan dikeluarkan dari neraka Jahim, dan bahwa angin akan menutup pintu-pintu neraka itu dan tanaman seledri air akan tumbuh di sana. Dengan demikian, Abu Thalib termasuk orang-orang yang dikelaurkan dari neraka itu. Bahkan ia dalah orang pertama yang dikeluarkan dari sana karena ia adalah orang yang siksaannya paling irngan di antara mereka, sedangkan orang-orang kafir tidak akan dikeluarkan dari sana.
Dari dalil-dalil tersebut, tampaklah bahwa Abu Thalib, meskipun disiksa di neraka , pasti dikeluarkan dari sana dan dimasukkan ke surga, karena tidak ada penghalan gntara surga dan neraka baginya.
Jika anda berpendapat bahwa para ulama telah menetapkan ada syafaat nabi saw. Untuk orang-orang kafir, dan mereka memandang bahwa hal tersebut merupakan kekhususan bagi beliau. Kemudian, mereka memberikan contoh, yaitu dengan syafaat nabi saw. Kepada Abu Thalib dnegan meringankan siksanya.
Saya katakan bahwa pendapat ini didasarkan pada pada asumsi bahwa Abu Thalib adalah seorang kafir. Padahal telah saya jelaskan tentang keimanannya. Selain itu, saya juga telah menjelaskan bahwa syafaat nabi saw diberikan kepada Abu Thalib karena ia telah melakukan suatu kemaksiatan , yaitu salah satu dosa besar. Dengan demikian Abu Thalib termasuk orang-orang yang disebutkan dalam sabda nabi saw, “syafaatku adalah untuk para pelaku dosa-dosa besar diantara umatku) “ Ini bukan pengecualian dan bukan pula penghkhususan terhadap keumuman makna firman alloh swt “maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat (qs Al Muddatstsir 74 : 48)


--  masih ada lagi lanjutannya, capek ngetiknya bozz -- silahkan anda beli saja bukunya, trims.

(SIRI 2) Bukti Otentik Tak Terbantahkan Bahwa Paman Nabi (Abu Thalib) bukan seorang Musyrik

Ketika nabi saw. Meminta abu thalib agar mengucapkan lailahaillallah (tiada tuhan selain aloh) dihadapan abu jahal dan Abdullah bin umayyah almakhzumi, abu thalib tidak mengucapkannya. Lalu, nabi saw berkata, “aku akan selalu memohon ampunan bagimu selama aku tidak dilarang untuk melakukan hal itu. “oleh karena itu beberapa orang islam berkata, “sesungguhnya rasul saw memohon ampunan bagi pamannya. Oleh karena itu kami pun akan memohon ampunan bagi orang tua kami” lalu mereka benar benar memohon ampunan bagi orang tua mereka sehingga alloh menurunkan ayat tersebut berkenaan dengan mereka.
Perawi hadis ini meringkas riwayat tersebut dengan menghilangkan teks nya yang terakhir. Saya telah menemukan beberapa bukti yang menguatkan kesimpulan ini. Diantaranya adalah : Pertama , hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Abu Asy-Syaikh bahwa Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi berkata, “Ketika abu Thalib sakit, nabi saw menemuinya beliau memintanya agar mengucapkan lailahaillah. Namun abu thalib tidak mengucapkannya. Kemudian , beliau berkata “Aku akan selalu memohon ampunan bagimu selama aku tidak dilarang melakukan hal itu.
Hal ini dijadikan dalil oleh sebagian orang Islam. Mereka berkata, “Rasulullah saw. Memohon ampunan bagi pamannya dan Ibrahim as juga memohon ampunan bagi ayahnya” Lalu mereka pun memohon ampunan bagi kerabat mereka yang meninggal dalam kemusyrikan oleh karena itu alloh swt menurunkan ayat.
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan (kepada alloh) bagi orang-orang musyrik (Qs-At Taubah :9 :113), setelah itu alloh menurunkan ayat “Dan permohonan ampunan Ibrahim (kepada alloh) untuk ayahnya … (Qs At-Taubah 9 : 114)
Kedua, Ibn Jarir meriwayatkan melalui jalur Syabl dari ‘Amr bin Dinar bahwa nabi saw, bersabda “Ibrahim as, telah memohon ampunan bagi ayahnya padahal ia seorang musyrik. Oleh karena itu aku akan selalu memohon ampunan bagi Abu Thalib hingga tuhanku melarangku melakukan hal itu. Para sahabat pun berkata “ Kami akan memohon ampunan bagi orang tua kami, sebagaimana nabi saw. Memohon ampunan bagi pamannya (Abu Thalib) “ Kemudian Alloh menurunkan ayat, “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan (kepada Alloh ) bagi orang-orang musyrik (Qs. At-Taubah 9 : 113)
Jadi, dari riwayat-riwayat ini tambpak jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan permohonan ampunan yang dilakukan oleh sebagian orang Islam bagi kerabat mereka yang meninggal dalam kemusyrikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa riwayat yang menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu Thalib telah mengalami reduksi, yaitu penghilangan sebagian teksnya. Akibatnya, terjadilah ambiguitas sehingga para perawi berikutnya mengira bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu Thalib, padahal sebenarnya bukan demikian.
Ketiga, surah At-Taubah tersebut seluruhnya adalah Madaniyyah (diturunkan di madinah) dan turun setelah Peran gTabuk, jadi , antara penurunan ayat ini dan kematian Abu Thalib ada rentang waktu sekitar dua belas tahun.
Bagaimana mengompromikan fakta ini dan hadist yang diriwayatkan dari Ali ra. Dalam hal ini, perlu diambil satu sikap, yaitutidak sepatutnya mengabaikan fakta-fakta tersebut dengan memaksakan kesimpulan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu Thalib, meskipun hal itu disebutkan dalam hadis-hadist yang dimuat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih muslim. Sebab, terkadang ada hadis-hadis yang terdapat dalam shahih al bukhari dan shahih muslim karena beberapa alas an yang menuntuk demikian. Langkah ini telah ditegaskan dalam ushul al hadis (kaidah-kaidah ilmu hadis) sementara itu pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam shahih albukhari dan shahih muslim atau salah satunya harus didahulukan bukanlah kaidah yang mutlak.
Keempat, yang dimaksud dengan Ayah nabi Ibrahim a.s dalam surat at taubah 114 adalah pamannya, sebagaimana telah ana selaskan dalam pembahasan tentang keselamatan kedua orang tua rasul saw diakhirat. Hal itu telah disepakati oleh Ahlul Kitab, baik dari kalangan yahudi maupun Nasrani. Paman nabi Ibrahim adalah Azar. Orang ini berprofesi sebagai pembuat patung yang disembah sebagai tuhan , sebagaimana disebutkan dalam Al-Wuran. Azar pernah berkata kepada Ibrahim

“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim ? (Qs. Maryam 19 : 46)

Sebaliknya tidak ada hadis sahih yang menyebutkan bahwa Abu Thalib menuhankan berhala, menyembah batu atau melarang nabi saw. Menyembah alloh swt. Memang, ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat secara terang-terangan atau tidak melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Islam. Namun, hatinya dipenuhi keimanan kepada nabi saw. Orang seperti ini tetap akan selamat di akhirat. Menurut keyakiann agama kita, sungguh tidak lah bijaksana, tidak sesuai dengan syariat yang mulia, dan tidak pula sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan para pemuka ahli kalam bila abu thalib disejajarkan dengan Azar paman nabi Ibrahim as. Hasan ra berkata, “ Apakah orang yang mencaci rasul saw di antara kalian sama dengan orang yang memuji dan menolongnya ?”

Abu thalib adalah orang yang telah memelihara dan mengasuh nabi saw, sewaktu kecil, memberikan tempat tinggal setelah beliau dewasa, menolong meuliakan melindungai dan selalu memuji beliau dengan beberapa qashidah-nya yang indah. Selain itu, ia juga menyenangi para pengikut beliau. Adapun, hadist yang diriwayatkan dari ‘Amr bin dinar yang telah disebutkan di atas tidak menunjukkan kemusyrikanny. Dalam hadist itu disebutkan bahwa nabi saw. Bersabda “Ibrahim as telah memohon ampunan bagi ayahnya padahal ia seorang musyrik. Oleh karena itu , aku akan selalu memohon ampunan bagi abu thalib hingga tuhanku melarangku melakukan hal itu.”

Mungkin hadist yang diriwayatkan ‘Amr bin Dinar itu artinya, “Ibrahim as telah memohon ampunan bagi ayahnya. Padahal ia seorang musyrik . Lalu, mengapa kau tidak memohon ampunan bagi abu thalib, padahal dosanya lebih kecil darpada dosa kemusyrikan? Oleh karena itu, aku akan selalu memohon ampunan bagi abu thalib sehingga tuhanku melarangku melakukan hal itu, kenyataannya nabi saw tidak dilarang untuk memohon ampunan bagi abu thalib , tetapi beliau dilarang untuk memohon ampun bagi orang-orang musyrik. Larangan itu tidak dikhususnkan bagi paman beliau, abu thalib.

Kelima , sebuah riwayat yang dikutip dalam Ad-Durr Al-Mantsur melalui Ibn Jarir dari Qatadah, bahwa sekelompok sahabat nabi saw, bertanya kepada beliau tentang memohon ampunan kepada alloh bagi orang tua mereka. Ketika itu, rasul saw, menjawab “ Demi alloh, sesunggunya aku benar-benar memohon ampunan bagi ayahku, sebagaimana ibrahim telah memohon ampunan bagi ayahnya. Kemudian alloh swt menurunkan firmannya “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang yang beriman memohon ampunan (kepada alloh) bagi orang-orang musyrik (Qs At Taubah 9 : 113 ). SElanjutnya nabi saw bersabda “Sesungguhnya telah diwahyukan kepadaku beberapa kalimat yang telah masuk ke dalam kedua telingaku dan menetap di dalam hatiku, yaitu bahwa aku tidak boleh memohon ampunan bagi orang yang meninggal dalam kemusyrikan”

Sabda nabi saw, “Demi alloh , sesungguhnya aku benar-benar memohon ampunan bagi ayahku… “ maksudnya adalah permohonan ampunan bagi pamanku. Beliau tidak berkata, “Aku diperintahkan agar tidak memohon ampunan baginya” Akan tetapi beliau berkata, “… bahwa aku tidak boleh memohon ampunan bagi orang yang meninggal dalam kemusyrikan. Sabda nabi saw tersebut merupakan jawaban bagi pertanyaan para sahabat, di samping merupakan isyarat tersembunyi (implisit) bahwa pamannya abu thalib bukan seorang musyrik.

Keenam, hadist-hadist tentang syafaat nabi saw, bahwa beliau memberikan syafaat kepada orang yang dalam hatinya terdapat keimanan walaupun lebih kecil, lebih kecil dan lebih kecil lagi daripada biji sawi.

Ketujuh, Hadis yang diriwayatkan Ibn Majah bahwa Ibn Umar ra berkata, seorang Arab badui menemui nabi saw. Lalu berkata, dulu ayahku adalah orang yang selalu menyambung silaturrahim… (ia menyebutkannya kebaikan-kebaikannya yang lain). Dimanakah tempatnya di akhirat ? Nabi saw menjawab, Ia di neraka” Tampaknya jawaban itu membuatnya sedih. Lalu ia bertanya dimanakah ayahmu? Beliau menjawab “Dimana saja kamu melewati kuburan seorang kafir, kabarkanlah bahwa ia adalah penghuni neraka.

Rasulullah saw memberikan jawaban yang umum kepada orang arab badui itu dengan sabdanya, dimana saja kamu melewati kuburan seorang kafir, kabarkanlah bahwa ia adalah penghuni neraka. Beliau biasa melakukan hal itu dalam memberikan jawaban bila ada orang arab badui yang bertanya kepadanya. Sebab, beliau khawatir bila memberikan jawaban yang jelas dan terperinci atas pertanyaan orang arab badui, maka hatinya akan terguncang. Oleh karena itu, beliau sengaja memberikan jawaban yang umum dan samar tetapi mengandung kebenaran.

Berkenaan dengan pertanyaan orang arab badui itu, nabi saw tidak menyebutkan secara jelas keadaan yang sebenarnya. Beliau menempatkan posisi ayahnya pada posisi ayah orang arab badui itu. Sebab, jika beliau memberikan jawaban yang jelas, dikhawatirkan orang itu akan membantah karena orang arab badui dikenal memiliki tabiat yang kasar dan hati yang keras. Jadi, beliau sengaja memberikan jawaban yang samar untuk menyenangkan hatinya.

Hal yang sam juga disebukan dalam riwayat muslim, bahwa seseorang bertanya kepada rasul saw, ya rasululullah, dimanakah ayahku ? beliau menjawab di neraka. Ketika orang itu beranjak pergi beliau memanggilnya, lalu beliau berkata kepadanya. “Ayahku dan ayahmu berada di neraka. Namun hadis tersebut dinilai munkar (diriwayatkan oleh perawi yang lemah dan menyalahi hadis dari para perawi yang terpercaya) dan para ulama telah membahasnya secara terperinci. Az-Zarqani meringkas pembahasan itu dalam Syarh Al-Mawahib. Diantaranya, ia berkata “ Dalam hal ini , sebaiknya dikatakan bahwa para perawi telah mengambil sikap yang berlebihan terhadap riwayat tersebut dan mereka berbeda pendapat dalam hal itu. Padahal yang benar adalah apa yang disebutkan dalam riwayat pertama, “Dimana saja kamu melewati kuburan seorang kafir .. (dst). Dalam hal ini sangat diperlukan ketelitian. Yang kami fahami, teks hadis ini umum, yaitu “Dimana saja kamu melewati kuburan seorang kafir, kabarkanlah bahwa ia adalah penghuni neraka.” Inilah yang bersumber dari rasulullah saw. Tetapi sebagian perawi memahami bahwa sabda beliau juga meliputi ayah beliau. Mereka menyimpulkan bahwa ayah beliau adalah seorang kafir. Lalu, mereka mengubah redaksi hadis tersebut dan meriwayatkannya dengan makna sesuai dengan apa yang mereka pahami. Mereka menyebutkan bahwa nabi saw bersabda “Ayahku dan ayahmu berada di neraka” sementara itu Azar adalah paman nabi Ibrahim as bukan ayahnya. Inilah pendapat yang benar.

Ibn Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa Ahlul kitab, baik dari kalangan Yahundi maupun Nasrani, sepakat bahwa Azar bukan ayah nabi Ibrahim as. Tetapi pamannya. Alloh menyebut Azar dalam alquran sebagai “ayah” Karena orang-orang arab biasa memanggil paman dengan panggilan “ayah”. Al-Fakhr Ar Razi juga menegaskan hal ini. Ia berkata, “ Dalam al-quran ,  ‘paman’ dipanggil ‘ ayah’ alloh swt. Berfirman

“Kami akan menyembah tuhanmu dan tuhan ayah-ayahmu (abaika) Ibrahim, Ismail … (Qs . Albaqarah [2] : 133). Padahal, firman alloh ini berkenaan dengan anak-anak ya’kub as. Sedangkan ismail as adalah paman ya’qub as.

Berkaitan dengan hal ini, sekelompok ulama salaf dari generasi sebelum Ar Razi sebenarnya telah mengemukakan pendapat seperti itu. Di antara mereka adalah Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jarir  dan As-Sadi. Mereka mengatakan bahwa azar bukan ayah Nabi Ibrahim as. Tetapi pamannya karena ayah Ibrahim bernama Tarikh.

Diantara ulama lain yang sepakat dengan pendapat Ar-Razi adalah Al-Mawardi. Ia adalah seorang pemuka dalam mazhab Syafi’I tentang firman alloh swt.

“Dan perpindahanmu di antara orang-orang sujud (Qs Asy- Syuara 26 : 219, almawardi mengemukakan pendapat yang sama dengan pendapat Ar-Razi, bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perpindahannya dari tulang sulbi-tulang tulang sulbi yang suci ke dalam rahim-rahim yang suci. Ini adalah salah satu penafsiran terhadap ayat tersebut, dan inilah penafsiran yang bisa diterima dan lebih masuk akal.

Ibn Sa’ad, Al-Bazzar, Ath-Thabrani, dan Abu Na’im meriwayatkan bahwa firman alloh swt “ Dan perpindahanmu di antara orang-orang yang sujud (Qs. Asy-Syuara 25 : 219). Ibn abbas ra berkata, “yaitu dari seorang nabi ke nabi yang lain sehingga aku mengeluarkanmu sebagi seorang nabi. “ Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan  “ memindahkan nya dalam tulang sulbi-tulang sulbi para nabi”. Meskipun ada perantara-perantara di antara mereka. Ia juga menafsirkan ayat ini secara lebih umum, tidak membatasi pada “tulang sulbi-tulang sulbi para nabi”, tetapi dengan “orang-orang yang mengerjakan shalat yang selalu ada pada keturunan Ibrahim as.” Penafsiran terakhir ini lebih jelas , karena meliputi orang-orang lain selain para nabi.

Ibn Al-Mundzir meriwayatkan bahwa tentang firman alloh swt, Ya tuhanku jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat (Qs Ibrahim 14 : 40), Ibn Juraij berkata, “Senantiasa ada pada keturunan Ibrahim orang-orang yang berada dalam fitrah (kesucian). Mereka menyembah alloh swt.

“ Dan ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya (Qs Az Zukhruf 43 : 28, Ibn Abbas ra dan Muhahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tauhid itu adalah laila ha illallah (tiada tuhan selain alloh). Kalimat ini kekal pada keturunan Ibrahim as.

Tentang ayat di atas, qatadah berkata, “ Ayat ini adalah kesaksian bahwa tiada tuhan selain alloh (laila ha illallah) dan senantiasa ada dalam keturunan Ibrahim as. Orang yang mengucapkan tauhid sepeninggalnya.

Dalam beberapa hadis sahih, melalui beberapa jalur yang sahih pula, diriwayatkan bahwa bumi ini tidak pernah kosong dari tujuh orang Islam. Diantaranya dalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdurra Razzaq dan Ibn Al-Mundzir dnegan sanad yang sahih sesuai kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwa dari Ali ra berkata, di muka bumi ini akan senantiasa ada tujuh orang Islam (dan seterusnya). Sekiranya bukan karena mereka, niscaya bumi ini dan siapa saja yang ada di atasnya akan binasa.

Imam Ahmad Az Zuhud meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Ibn Abbas ra, berkata, “Speninggal Nuh bumi ini tidak pernah kosong dari tujuh orang yang dengan perantaraan mereka, alloh menjaga penduduk bumi”
Rasulullah saw. Bersabda “aku di utus dalam sebaik-baik generasi anak Adam. Generasi demi generasi berlalu, dan aku diutus dalam generasi yang kau berada di dalamnya” (Hr Al-Bukhari)

Jika kita mengkaji hadis-hadis di atas “Di muka bumi ini akan senantiasa ada tujuh orang Islam… (dst), sekiranya bukan karena mereka, niscaya bumi dan siapa saja yang ada di atasnya akan binasa”, Speninggal Nuh as. Bumi ini tidak pernah kosong dari Tujuh orang yang dengan perantaraan mereka, alloh menjaga penduduk bumi”, dan aku di utus dalam sebaik-baik generasi anak adam. Generasi demi generasi berlalu, dan aku diutus dalam generasi yang aku berada didalamnya” niscaya hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan oelh Ar-Razi , bahwa ayah dan kakek-kakek rasulullah saw. Adalah orang-orang yang mengesakan alloh. Sebab , Jika setiap orang dari kakek-kakek rasulullah saw. Termasuk di antara tujuh orang yang desebutkan dalam hadis itu. Maka dalam hal ini bisa diterima, walaupun mungkin saja ketujuh orang bukan mereka. Jika dikatakan bahwa mereka mengikuti agama yang hanif , yakni agama Ibrahim as maka hal ini pun bisa diterima. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa mereka musyrik, maka hal itu tidak akan luput dari dua hal. Pertama, orang lain lebih baik daripada mereka. Namun hal ini adalah tidak bisa diterima karena bertentangan dengan hais sahih yang menyebutkan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi anak adam. Kedua, mereka lebih baik, tetapi mereka musyrik, maka hal ini pun tidak bisa diterima karena bertentangan dengan Ijma. Alloh swt berfirman “ Sesunggunya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik (Qs Albaqarah: 2 : 221). Dengan demikian, terbukti bahwa mereka adalah para penganut agama tauhid. Mereka adalah para penganut agama tauhid. Mereka adalah penghuni bumi terbaik pada zaman mereka.

As Suyuti dan lain-lain, yang telah menulis tentang keselamatan para leluhur rasul saw. Di akhirat, menyebutkan banyak dalil dan bukti yang kuat tentang hal itu. Mereka menyebutkan biografi masing-masing dari para leluhur Rasul saw. Dalam banyak hadis sahih disebutkan bahwa nabi saw, bersabda “Aku senantiasa berpindah dari tulang sulbi-tulang sulbi yang suci ke dalam rahim-rahim yang suci”. Dalam riwayat lain disebukan “Alloh senantiasa menimdahkanku dari tulang sulbi-tulang sulbi keturunan yang mulia ke dalam rahim-rahim yang suci”

Berdasarkan hal ini, sebagian ulama menafsirkan firman alloh swt, “Dan perpindahanmu diantara orang-orang yang sujud (Qs Asy-Syuara 26 : 219) dan sabda nabi saw, “Aku senantiasa berpindah dari tulang sulbi – tulang sulbi yang suci ke dalam rahim-rahim yang suci “ bahwa tak satu pun dari ayah, ibu , kakek dan nenek nabi saw hingga adam as, dan hawa yang kafir karena orang kafir tidak bisa disebut suci. Berkaitan dengan hal ini, pengarang Al Hamziyyah berkata :
Dalam batin alam ini senantiasa terkandung kakek dan nenek pilihan bagimu.

Rasul saw bersabda “ Aku sama sekali tidak pernah dilahirkan dari seorang pezina sejak aku dikeluarkan dari sulbi Adam. Aku senantiasa diperebutkan oleh berbagai umat yang mulia hingga aku dikeluarkan dari yang paling utama di antara dua kabilah arab, yaitu bani hasyim dan bani zuhrah”.

-------
Dikutip dari Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, Benarkah Abu Thalib Seorang Mukmin ?, diambil dari Tinjauan Alquran dan Hadis serta Imam Albarjanzi
Ahlussunnah wal jama’ah